Adat Istiadat Masyarakat Aceh


Sebagaimana diketahui adat istiadat merupakan kebiasaan atau tradisi-trasdisi yang dijalankan atau dipraktekkan dalam kebiasaan hidup sehari-hari oleh masyarakat dimana saja dan kapan saja. Kebiasaan-kebiasaan tersebut sebagai landasan berpijak bagi masyarakat setempat atau wilayah masing-masing. Adat dalam suatu masyarakat tertentu selain menjadi kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi juga menjadi landasan hukum bagi masyarakat tersebut. Adat yang dimaksudkan bagi masyarakat Aceh bukan upacara-upacara budaya saja, tetapi juga kebiasaan-kebiasaan yang dipraktekkan sehari-hari sehingga menjadi landasan hukum. Adat yang dimaksudkan oleh masyarakat Aceh adalah sebagai pedoman hidup dan tatakrama kehidupan sehari-hari. Adat-istiadat yang telah membudaya bagi masyarakat Aceh sebagai hasil dari proses lahirnya sebuah sistem masyarakat yang berperadaban dan bertahan sampai saat ini. Berikut ini pengertian adat Aceh menurut Atjehsch Nederlansch Woorden Boek sebagai berikut:

Adat atau ‘Adat (Arab. ‘adah, kebiasaan) adat-istiadat, aturan, lembaga hukum adat leluhur, dikrit turun menurun; dikrit yang dikhitmat oleh orang-orang Aceh yang berasal dan sebagaimana yang telah diatur oleh Iskandar Muda (1607-1636), Adat Poteu Meureuhom (Adat Meukuta Alam). Adat merupakan Hukum Agama untuk mengatur masyarakat; sebuah pepatah menyatakan; Hukom ngon adat han jeut cre, lagee zat/dat ngon sipheuet (Hukum dengan adat tidak boleh bercerai seperti zat dengan sifat (Tuanku Abdul Jalil dalam Ismuha,1988;362).

Adat adalah suatu tradisi yang secara turun-temurun dipraktekkan oleh masyarakat Aceh dan diwarisi oleh para pelaksana hukum, di samping sebagai landasan berperilaku dan tuntunan hidup dari nenek moyang yang diturunkan secara terus-menerus kepada generasi selanjutnya. Artinya, adat di sini merupakan suatu yang tertulis dan tidak tertulis, yang menjadi pedoman di dalam masyarakat Aceh. Adat yang dipahami merupakan titah dari para pemimpin dan para pengambil kebijakan guna jalannya sistem masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat Aceh adat dan hukum tidak bisa dipisahkan oleh para pemimpin atau para ahli tersebut harus seirama dengan ketentuan syariat. Jika adat bertentangan dengan agama maka hukum adat itu akan dihapuskan.

Adat dimaksudkan adalah suatu peraturan, kebiasaan atau peraturan, intruksi, yang dijalankan oleh Poteu Meureuhom/sultan/Penguasa. Jalan atau tidaknya adat menjadi tanggung jawab Poteu Meureuhom. Poteu Meureuhom di sini bukanlah Sultan Aceh saja, tetapi juga para Uleebalang, Kepala Mukim atau Imeum Mukim dan keusyik/kepala desa. Kalau sekarang gubernur, walikota/bupati camat mukim, kepala desa/keusyik. Mereka semua bertanggung jawab terhadap adat yang berperilaku di wilayahnya. Jiwa adat dalam masyarakat Aceh merupakan ekspresi dari kebudayaan sehingga, menjadi suatu ketentuan hukum di wilayah Kerajaan Aceh tempo dulu.

Dengan kata lain adat dalam masyarakat Aceh merupakan aturan hidup yang lahir dari proses kesepakatan antara kaum cendekiawan dan aparat penguasa yang disebut dengan Poteu Meureuhom. Aturan yang mengatur tentang perikehidupan dan sosial kemasyarakatan tersebut mencakup segala bidang kehidupan, misalnya berhubungan dengan tatakrama pergaulan, sopan santun, aturan-aturan yang berkaitan dengan pertanian atau cocok tanam, aturan kelautan dan aturan kehutanan. Konsep kehidupan bermasyarakat dalam lehidupan dan pergaulan, misalnya, jika ada yang melanggarnya akan dikenakan sanksi, sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Namu demikian adat juga tidak terlepas dengan kebiasaan-kebiasaan lainnya seperti reusam. Antara adat dan reusam tidak bertentangan dan berjalan dalam masyarakat seirama dan seiring dengan Syariat. Hubungan antara adat reusam dan hukum Islam atau syarat menjadi landasan dalam bermasyarakat di Aceh.

Aturan-aturan dimaksud kini disebut dengan hukum adat. Yang dimaksudkan dengan upacara adat seperti misalnya, upacara perkawinan, acara penyambutan pembesar, acara kenduri Maulid, tatacara turun ke sawah, tatakrama turun ke laut, termasuk permainan rakyat. Upacara adat seperti itu dalam bahasa Aceh dan yang berlaku di masyarakat Aceh disebut reusam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Hadih Maja (ungkapan hukum) berikut ini:

Adat Bak Poteu Meureuhom Adat adalah urusan Sultan (ada pada Sultan
Hukom Bak Syiah Kuala (Hukum Islam ada pada Ulama)
Qanun Bak Putro Phang (Qanun disusun oleh Putri/Permaisuri/Ratu)
Reusam Bak Lakseumana (Reusam dibuat oleh sang Laksamana).

Adat merupakan aturan yang diputuskan oleh Sultan guna jalannya pemerintahan atau kegiatan kenegaraan. Sedangkan kewajiban menjalankan adat tersebut, kalau di daerah, tergantung kepada kepala wilayah masing-masing. Sedangkan hukum yang dimaksudkan adalah hukum Islam, atau perkara pengadilan diputuskan atau difatwakan oleh ulama berdasarkan ajaran Islam. Qanun adalah suatu tatacara kehidupan sehari-hari seperti pesta perkawinan, atau tata cara, sistem budaya dan busana serta kegiatan kewanitaan lainnya. Terakhir, reusam identik dengan kegiatan pria seperti upacara penyambutan Linto Baro (pengantin baru), upacara penyambutan tamu agung, upacara/cara pergi ke laut atau nelayan, pertanian dan kehutanan, serta perdagangan. Keempat unsure tersebut tidak terpisah satu sama lain. Artinya adat tidak boleh bertentangan dengan hukum, demikian juga dengan Qanun tidak boleh bertentanga dengan hukum, reusam, dan adat. Keempat sumber tersebut dalam masyarakat Aceh berjalan beriringan sekaligus sebagai landasan hidup bagi rakyat Aceh dan berlaku sampai saat ini. Adanya adat seagai landasan hukum sekaligus sebagai pengendalian sosial, dapat menjaga keharmonisan serta kestabilan dalam masyarakat terutama sebelum adanya kolonialis dan masuknya budaya luar.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan adat selama ini di masyarakat Indonesia umumnya adalah suatu upacara adat atau kebiasaan yang dipraktekkan turun-menurun di dalam masyarakat. Namun demikian upacara adat sekarang secara umum sudah dapat dipahami oleh masyarakat Aceh dan tidak terjadi kesalahpahaman. Dibalik itu semua telah terjadi pergeseran nilai-nilai adat dalam masyarakat Aceh sehingga keharmonisan dan hubungan sosial sudah mulai memudar, terutama di kota-kota. Dalam perkembangan kebudayaan Aceh saat ini adat-adat yang masih sangat kental dan masih berlaku misalnya, upacara perkawinan, upacara kelahiran bayi dan penyambutan bayi, upacara peusijuek. Upacara perkawinan dimulai dengan musyawarah keluarga, melihat si anak gadis, pertunangan, pernikahan, sampai penyerahan pegantin baru untuk keluarga si pengantin wanita. Semua proses tersebut memakai adat dan tatakrama yang berlaku seperti dahulu kala, akan tetapi disesuaikan dengan kondisi zaman sekarang. Upacara adat peusijuek saat ini masih berlaku di Aceh, terutama pada hari-hari tertentu, seperti acara menepungtawari para pengantin dan pada acara seorang telah sukses dalam berkerja dan berkarier serta bagi para pemimpin yang sukses.

Demikian juga dalam menunggu kelhiran bayi, seperti membawa makanan dan buah-buahan yang manis-manis oleh orang tua pengantin pria kepada pengantin wanita sampai bayi lahir, mulai dari Cuko ok (cukur rambut) si bayi akikah, peutren aneuk (menginjakkan kaki) si bayi pada tanah. Semua proses yang berhubungan kelahiran bayi umumnya masih berlaku secara adat turun-menurun. Demikian juga dengan peusijuek (menepur tawari) orang-orang yang sudah berhasil atau pada tamu-tamu agung, pada upacara perkawinan, pada waktu membuat rumah, sunnatan rasul/khitan, pembukaan dagang, pembelian Honda/mobil baru, dan sebagainya dalam kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan peusijuek tersebut masih berlaku kental di desa-desa, dan pada tokoh-tokoh atau pada para pejabat.




Post a Comment

0 Comments