Syaikh Hamzah Fanshuri lahir di kota
Barus, bagian Barat Daya Aceh. Syaikh Hamzah Fanshuri hidup pada masa
pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah (1588-1604) dan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636).
Syaikh Hamzah Fanshuri adalah seorang ulama tasawuf yang menggembangkan paham Wihdatul Wujud. Menurut faham Wihdatul Wujud, makhluk bisa menyatu
dengan Tuhannya. Karenanya, Syaikh Hamzah Fanshuri ssering dianggap oleh banyak
orang sebagai ulama yang sudah keluar dari prinsip-prinsip Islam.
Selain itu, Syaikh Hamzah Fanshuri adalah seorang ulama yang dianggap sebagai perintis kesusasteraan Melayu. Syair-syair Syaikh Hamzah Fanshuri adalah Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Ikan Tongkol, dan Syair Perahu. Sebagai ulama Tasawuf, Syaikh Hamzah Fanshuri juga aktif dalam berkarya. Adapun karya-karyanya adalah Asrar Al-Arifin fi Bayaani Ilmi As-Suluki wa At-Tauhid, Syarb Al-Asyiqiin, Al Muhtadi dan Ruba’i Hamzah Fanshuri.Syaikh Hamzah Fanshuri Wafat pada tahun 1630.
Selain itu, Syaikh Hamzah Fanshuri adalah seorang ulama yang dianggap sebagai perintis kesusasteraan Melayu. Syair-syair Syaikh Hamzah Fanshuri adalah Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Ikan Tongkol, dan Syair Perahu. Sebagai ulama Tasawuf, Syaikh Hamzah Fanshuri juga aktif dalam berkarya. Adapun karya-karyanya adalah Asrar Al-Arifin fi Bayaani Ilmi As-Suluki wa At-Tauhid, Syarb Al-Asyiqiin, Al Muhtadi dan Ruba’i Hamzah Fanshuri.Syaikh Hamzah Fanshuri Wafat pada tahun 1630.
Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani
adalah murid dari Syiakh Hamzah Fanshuri. Nama lengkap beliau adalah al-Syaikh Syamsuddin ibn Abdullah As-Sumatrani. Iya berasal dari Sumatra, Syiakh Syamsuddin As-Sumatrani lahir antara tahun 1575-1630. Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani hidup
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Oleh Sultan Iskandar
Muda, Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani diangkat sebagai penasehat kesultanan. Setelah
Sultan Iskandar Muda wafat, kedudukan Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani digantikan
oleh Syaikh Nuruddin Al Raniri.
Sebagai seorang ulama tasawuf,
Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani telah menulis sebuah kitab yang khusus dipersembahkan
buat Sultan Iskandar Muda. Kitab tersebut berjudul “Nur Al-Daqa’iq”. Dalam kitab ini, Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani
membahas tentang ajaran Martabat Tujuh
dan Sifat Dua Puluh. Selain itu, Syaikh
Syamsuddin As-Sumatrani juga memiliki karya-karya yang lain. Diantaranya adalah
Jauhar Al-Haqaiq, Risalat Al-Bayyin
Mulahazat Al-Iman, Dzikir Al-Da’irah Qausai Al-Adna, Mir’at Al-Qulub, Sirr
Al-Arifin, Kitab Ushul Al-Tahqiq, Mir’at Al-Haqiqah, Kitab Al-Martabah, Risalat Al-Wahhab, Mir’at
Al-Muhaqqiqin, Syarah Ruba’I Hamzah Fanshuri, dan Tanbihullah. Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani meninggal dunia pada saat kekalahan pasukan Aceh melawan Malaka, yaitu 12 Rajab 1039 H, atau bersamaan dengan 24 Februari 1630 M.
Nama lengkap beliau adalah Nur Al-Din
Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Ar-Raniri. Syaikh Nuruddin Ar-Raniri
adalah ulama tasawuf keturunan India-Arab. Beliau dinamakan Syaikh Ar-Raniri,
karena lahir di daerah Ranir dekat Gujarat, India.
Syaikh Nuruddin Ar-Raniri datang ke
Serambi Makkah ketika wilayah ini dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Beliau kemudian meninggalkan Aceh, karena Sultan Iskandar Muda
sebagai penguasa Aceh telah dipengaruhi oleh ajaran yang dikembangkan oleh
Syeikh Hamzah Fanshuri bersama muridnya Syaikh Syamsuddin Sumatrani. Setelah Sultan
Iskandar Muda wafat, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri kembali ke Aceh. Pada waktu itu,
Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Tsani. Syaikh Nuruddin Ar-Raniri menetap di
Aceh pada tahun 1637-1644. Oleh Sultan Iskandar Tsani, Syaikh Nuruddin
Ar-Raniri dijadikan sebagai penasehat kesultanan. Kesempatan ini digunakan
sebaik-baiknya oleh Syaikh Nuruddin Ar-Raniri untuk meluruskan paham Wihdatul Wujud yang telah dikembangkan
oleh Syaikh Hamzah Fanshuri beserta muridnya Syaikh Samsuddin Sumatrani. Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri telah memberikan fatwa bahwa paham Wihdatul Wujud adalah paham yang sesat dan pengikutnya adalah
kafir. Syaikh Nuruddin Ar-Raniri memberikan fatwa agar Sultan Iskandar Tsani
sebagai penguasa Aceh membakar kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Hamzah
Fanshuri beserta muridnya, Syaikh Samsuddin Sumatrani, pembakaran kitab itu
dilakukan di depan Masjid Raya Baiturahman. Syaikh Nuruddin Ar-Raniri mengimbau
kepada para pengikut paham Wihdatul Wujud untuk bertaubat, bahkan ada sebagian
pengikut Wihdatul Wujud yang dijatuhi
hukuman mati, karena mereka tidak mau meninggalkan paham Wihdatul Wujud.
Sebagai seorang ulama, Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri telah banyak menulis. Di antaranya adalah Lathaif Al-Asrar, Nubdzah fi Da’wa Azh-Zhil
Ma’a Shahibih, Asrar Al-Ihsan fi Ma’rifat Ar-Ruh wa Ar-Rahman, Hill Azh-Zhill,
Ma’ Al-Hayat li Ahl Al-Mamat, Fath Al-Mubin ‘Ala Al-Mulhidin, Jawahir Al-Ulum
fi Kasyaf Al-Ma’lum, Syifa Al-Qulub, ‘Aqaid Ash-Shufiyyah Al-Munawahhidin, Rahiq
Al-Muhammadiyyah fi Thariq Ash-Shufiyyah, Al-Shirath Al-Mustaqim dan Bustan
Al-Salathin fi Dzikr Al-Awwalin Al-akhirin. Syaikh Nuruddin Ar-Raniri juga dikenal sebagai Ulama Aceh yang membangun Universitas UIN Ar-Raniri, yang dulunya sering disebut IAIN.
Nama lengkap beliau adalah Abdul
Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri As-Sinkili. Beliau lahir di daerah Sinkil pada
tahun 1615, Aceh Selatan. Syaikh Abdul Rauf As-Sinkili menuntut ilmu selama 19
tahun di negeri Arab. Ia kembali di Aceh pada tahun 1661. Sebagaimana halnya,
Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, Syaikh Abdul Rauf As-Sinkili juga menyatakan bahwa
paham Wihdatul Wujud adalah paham
yang sesat. Meski demikian Syaikh Abdul Rauf As-Sinkili juga mencoba
mendamaikan paham Wihdatul Wujud yang
dikembangkan oleh Syaikh Hamzah Fanshuri dan muridnya, Syaikh Syamsuddin
Sumatrani, dengan paham sunnah yang dibawa oleh Syaik Nuruddin Ar-Raniri. Syaikh
Abdul Rauf As-Sinkili melanjutkan tugas Syaikh Nuruddin Ar-Raniri sebagai
penasehat Kesultanan Aceh. Ketika Aceh dipimpin oleh Sultanah Shafiatu Al-Din,
istri Sultan Iskandar Tsani sekaligus putri Sultan Iskandar Muda.
Sebagai ulama tasawuf, Syaikh Abdul
Rauf As-Sinkili aktif dalam berkarya. Diantaranya adalah Mir’at Al-Thullab fi Tashin Al-Ma’rifah Al-Ahkam Al-Syar’iyyah li
Al-Malik Al-Wahhab, Bayan Al-Arkam, Bidayah Al-Baliqhah, Majmu’ Al-Masa’il,
Fatihah Syaikh Abdul Rauf, Tanbih Al-Amil fi Tahqiq Kalam An-Nawafil,
Washiyyah, Tanbih Al-Masyi Al-Mansub ila Thariq Al-Qusyasyi, Umdah Al-Muhtajin
ila Suluk Maslak Al-Mufarridin, Sullam Al-Mustafidin, Kifayah Al-Muhtajin ila
Masyrab Al-Muwahhidin Al-Qailin bi Wahdah Al-Wujud, Bayan Agmad Al-Masa’il wa
Al-sifat Al-Wajibah li Rabb Al-Ard wa Al-Samawat, Bayan Tajalli, Daqa’iq
Al-Huruf, Munyah Al-I’tikad, Bayan Al-Itlaq, Risalah A’yan Tsabitah, Risalah
Mukhtasarah fi Bayan Syurut Al-Syaikh wa Al-Murid, Syair Ma’rifah, Umdah
Al-Anzab, Idah Al-Bayyan fi Tahqiq Masa’il Al-Adyan, Ta’yid Al-Bayan Hasyiyah
Idah Al-Bayan, Lunn Al-Kasyf wa Al-Bayan li Ma Yarahu Al-Muhtadar bi Al-Iyan,
Syaththariyyah, Tarjuman Al-Mustafid bi Al-Jawi, Syarh Latif Arbain Hadisan li
Al-Imam an Nawawi, Al-Mawaiz Al-Nadiah, dan lain-lain yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa Malayu.
Syaikh Abdul Rauf As-Sinkili wafat
pada tahun 1693 dan dimakamkan di dekat Kuala Sungai, Aceh. Hingga kini, makam Syaikh
Abdul Rauf As-Sinkili menjadi tempat ziarah bagi berbagai lapisan masyarakat,
baik yang datang dari Aceh maupun dari luar Aceh.
0 Comments