A.
Laksamana Malahayati
Malahayati atau nama aslinya Keumalahayati adalah
putri dari Laksamana Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad Said Syah. Sedangkan
kakeknya merupakan putra Sultan Salahuddin Syah yang memimpin Aceh pada
1530-1539. Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali
Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.
Jika dilihat dari silsilah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Laksamana
Keumalahayati merupakan keturunan darah biru atau keluarga bangsawan keraton.
Ayah dan kakeknya pernah menjadi laksamana angkatan laut. Jiwa bahari yang
dimiliki ayah dan kakeknya tersebut kelak berpengaruh besar terhadap
kepribadiannya. Meski sebagai seorang wanita, ia tetap ingin menjadi seorang
pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya tersebut.
Perempuan bangsawan dengan hasab laksamana, berada
pada masa golden age kesultanan Aceh. Lulusan terbaik dari Askari Baitul
Muqaddas, Royal Military Academy Sultan Selim II di Aceh. Petarung tangguh yang
menikam Cornelis de Houtman di atas kapal Belanda dan bersama Sultan Iskandar
Muda melawan invansi armada Alfonso de Castro dari Portugis.
Negosiasi ulung berbahasa asing, memimpin diplomasi
dengan Sir James Lancester utusan Ratu Elizabeth I. pengawal pengiriman tiga
duta diplomasi Aceh menjumpai Prints Maurits. Duta-duta tersebut menjadi utusan
pertama kerjaan dari Asia dan sebagai penanda, Aceh adalah kerajaan berdaulat
pertama yang mengakui kemerdekaan Belanda dari Spanyol.
Penggagas dibangunnya benteng Inong Bale sebagai
pusat pertahanan Selat Malaka dan memimpin 2000 pasukan dengan 100 kapal perang
dengan kapasitas 400-500 orang. Tiap kapal perang dilengkapi dengan meriam.
Bahkan, kapal paling besar dilengkapi lima meriam. Malahayati ikut menjadikan
MARITIM ACEH yang terkuat di Asia Tenggara Abad ke-17.
Makam Laksamana Malahayati terletak di Desa Lamreh,
kecamatan Masjid Raya, kabupaten Aceh Besar. Untuk melaju dari pusat kota yaitu
Banda Aceh, butuh waktu sekitar 1 sampai 2 jam dengan jauh perjalanan 32
kilometer. Untuk mencapai lokasi makam harus menaiki bukit dengan berjalan
kaki, yang jauhmya sekitar 1 kilometer. Disana tidak hanya ada makam namun juga
terdapat pemandangan indah dari atas bukit tersebut.
B.
Cut Nyak Dhien (1848-1908)
Cut Nyak Dhien dilahirkan tahun 1848 dari keluarga
terkemuka di Lampadang, Kesultanan Aceh. Ayahnya Teuku Nanta Seutia adalah
seorang ulubalang yang memimpin beberapa kampung.
Cut Nyak Dhien kecil dididik dengan ajaran Islam
yang kuat. Dia dinikahkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga saat berusia 12 tahun.
Cut Nyak dikenal dengan sebutan Ratu Perang Aceh, musah yang dihormati oleh Belanda,
ia berjuang tidak kenal takut dan nyalinya tidak pernah surut mengorbankan
semangat sabil. Kampong Cut Nyak dibakar, ia pergi merajai lembah dan hutan
Aceh bersama Teuku Umar, bersembunyi, menyerang dan menusuk musuh dengan
berani. Cut Nyak tidak peduli kebutaan dan renta fisik yang menggorogoti
tubuhnya.
Pengorbanan besar Cut Nyak dalam perang gerilya
yang menggetarkan Kaphe goumoeunie berakhir pada 1905. Panglima laot iba pada
kondisi Cut Nyak, ia sedia membongkar persembunyian pasukan Aceh di Beutong
kepada Belanda dengan syarat Cut Nyak diperlukan sebaik-baiknya perempuan
terhormat. Penagkapan dilakukan Belanda di Krueng Manggeng, Aceh Barat. Cut
Nyak mendekam di penjara wanita bawah tanah, Gedung Stadhuis, Batavia. Kemudian
diasingkan di Sumedang, Jawa Barat. Jauh dari tanah Aceh sebuah penderitaan
panjang yang tidak terungkap, Cut Nyak menutup mata selamanya 6 November 1908.
C.
Pocut Meurah Intan
Pocut Meurah Intan namanya. Lahir di Biheue, Pidie,
Aceh Besar pada tahun 1833. Biheue adalah sebuah uleebalang (kenegerian) yang
merupakan Wilayah Sagi XXII Mukim di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. Dengan
raja yang terkenal adalah Sultan Iskandar Muda. Pocut keturunan dari kalangan
Kesultanan Aceh, ayahnya merupakan seorang Kejreun (kepala negeri) Biheue.
Pocut Meurah Intan memiliki suami yang bernama
Tuanku Abdul Majid bin Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Syah
Alam. Mereka memiliki tiga anak yang bernama, Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman,
dan Tuanku Nurdin.
Pocut sangat berani menyerang patrol-patroli
Belanda dalam jarak dekat. Keberaniannya terdengar sampai kepada kolonel
Belanda dari NTB, kolonel tersebut datang ke Aceh untuk menyampaikan
penghormatan khusus kepada Pocut.
Pada 1902, sebelum patrol Belanda menyergap Pocut
yang dipimpin oleh Kolonel T.J. Veltman. Pocut sudah lebih dulu menyerang,
namun pihak Belanda berhasil membalas dengan dua tekanan klewang mengenai
bagian kepala dan bahu, bahkan tendon urat ketingnya putus. Pocut terkapar tak
dikendali. Waktu itu Pocut melawan 18 pasukan Belanda yang dipimpin oleh
Veltman, Pocut dengan berani menusuk dengan rencongnya. Sampai Pocut terluka
parah, Veltman pun juga berusaha ingin menolongnya, tetapi Pocut Meurah Intang
menolaknya dengan melakukan penyembuhan sendiri. Karena keberaniannya Pocut
Meurah Intang diberi julukan oleh Belanda dengan sebutan ‘Heldhafting’ memiliki
arti ‘gagah dan berani’.
Pocut Meurah
Intan bersama kedua putranya dibuang oleh Belanda ke Blora, Jawa Tengah
tepatnya di desa Mumah. Sampai akhirnya Pocut wafat, beliau dimakamkan di
pemakaman umum Desa Tegal Sari, kabupaten Blora pada tanggal 19 september 1937.
D.
Cut Nyak Meutia
Cut Nyak Meutia atau lebih sering di dengan dengan
panggilan Cut Meutia lahir di Keureutoe, Pirak Aceh Utara, pada tahun
1870. Suami Cut Meutia adalah Teuku Chi’ Tunong tertuduh melakukan
penyerangan terhadap bivak patrol sersan Vollaers yang sedang berteduh di
Meunasah Meurandeh Paya, kota Lhoksukon pada 1905. Teuku Chi’ Tunong di tangkap
Belanda dan dihukum tembak mati di Lhok Seumawe’.
Peristiwa tersebut tidak menghentikan daya juang
Cut Meutia, ia terus melakukan penyerangan terhadap pusat-pusat pasukan
Belanda. Bersama suami keduanya yaitu Pang Nangroe’, pergerakan Cut Meutia
merambah lebih jauh dari Aceh Utara sampai ke belantara tanah Gayo.
Pada tanggal 24 oktober tahun 1910 Colonel
Macan memburu Cut Meutia, dan Cut Meutia bersama pasukannya disergap dan di
serang di Krueng Peuteu. Pada pertempuran ini singa betina ini menghela nafas
terakhir menjelang matahari terbit. Tepat sebulan setelah syahid Pang Nanggroe.
E.
Pocut Baren
Pocut Baren lahir tahun 1880 di Aceh Barat,
biasanya Pocut Baren dikenal dengan sebutan Panglima Perang Laskar Rakyat.
Setelah suaminya syahid, Pocut menjadi panglima prang. Pocut mendirikan benteng
di gunung Mancang, disebuah gua yang sulit di capai. Dua brigade Marsose
Belanda menjadi korban batu-batu gunung yang digulingkan laskar Pocut saat
ekspedisi Belanda ke benteng. 6 bulan Belanda terus mencoba untuk menghancurkan
benteng tersebut, Belanda mengalirkan 1200 kaleng minyak tanah dan membakar
benteng tersebut secara brutal.
Peluru menembus kaki Pocut pada pertempuran dengan
pasukan Marsose. Pocut tertangkap dan di bawa oleh Letnan Hogers ke Kutaraja
dengan kapal perang. Penangkapan Pocut tidak mengecilkan nyali pengikutnya,
peperangan terus berlanjut meski kekuatan semakin melemah.
Kaki Pocut Baren di amputasi da dirawat di rumah
sakit militer, setelah pulih Pocut berhenti bergerilya dan menetap di Tungkop
membantu rakyat bertani. Pocut berhasil membuat daerah tersebut surplus padi.
0 Comments