BUDAYA MASYARAKAT ACEH
(Hubungan
Antar Etnis; Mayoritas-Minoritas,
Kemajemukan Budaya,
dan Simbol-Simbol Etnis)
Nadila Malfirah¹, Twk. Tolchah Mansur², Muhammad Rahmad Ramadhan³
Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Syiah Kuala
Abstrak
Etnis Tionghoa merupakan salah satu
etnis yang mendiami di wilayah aceh khususnya di Kota Banda Aceh. Kehadiran mereka di Aceh pada waktu itu
membuka terjadinya kontak budaya antar budaya Aceh dan Tionghoa, yang
sebelumnya orang Aceh telah terjadi kontak budaya dengan orang India, Arab, dan
Eropa. Peunayong merupakan bagian dari Kota Banda Aceh dan lokasi mata
pencaharian utama etnis Tionghoa yang umumnya tumbuh dalam lingkungan pusat
bisnis. Hasil tulisan ini diperoleh dari data sekunder berupa buku, jurnal, dan
dokumen lainnya. Tulisan ini ditujukam umtuk mengidentifikasikan hubungan antar
etnis; mayoritas-minoritas, kemajemukan budaya dan simbol-simbol etnis. Melalui
hubungan antar etnis Tionghoa dalam keberagaman budaya masyarakat Aceh, penulis
menemukan perspektif sosiologis yakni Teori Dramaturgi.Dalam teori
dramaturgi, hubungan antar etnis Tionghoa dan masyarakat Aceh berawal dari
simbol perdagangan, yaitu interaksi antar masyarakat Aceh dan pedagang
Tionghoa. Yang berpusat di Peunayong,
sebagai tempat bersejarah datangnya etnis Tionghoa tersebut. Dari simbol
perdagangan kita lihat bahwa ada panggung sandiwara yang terjadi antar
masyarakat Aceh dan pedagang Tionghoa.
Peran
yang dimainkan oleh pedagang Tionghoa menarik perhatian masyarakat Aceh dalam
berdagang. Suku Tionghoa yang menjadi minoritas di Aceh memilih untuk menetap
di suatu tempat untuk menjadi pedagang Tionghoa yang permanent.
Kata Kunci : Etnis, Tionghoa,
Dramaturgi
A. Pendahuluan
Etnis Tionghoa
merupakan salah satu etnis yang mendiami di wilayah aceh khususnya di Kota
Banda Aceh. Lombard (seperti dikutip Sutrisna, 2008:31) mengatakan pada Abad ke
17 Orang Cina di Banda Aceh banyak berperan dalam perdagangan. Para pedagang
Cina ada yang tinggal dan berdagang secara permanen, namun ada juga yang datang
pada bulan-bulan tertentu untuk berdagang. Sulaiman (seperti dikutip Usman,
2009:4) menambahkan pada tahun 1875
Etnis Cina hadir di Aceh secara
besar-besaran, mereka didatangkan oleh Belanda untuk dipekerjakan sebagai buruh. Kebanyakan mereka dari suku Khek (Hakka)
provinsi Kwantung.
Kehadiran mereka di Aceh pada waktu itu
membuka terjadinya kontak budaya antar budaya Aceh dan Tionghoa, yang
sebelumnya orang Aceh telah terjadi kontak budaya dengan orang India, Arab, dan
Eropa. Juhari
(seperti dikutip Usman, 2009:5) menjelaskan orang Tionghoa yang tadinya sudah
begitu menyatu dengan masyarakat Aceh, walaupun berbeda budaya akhirnya menjadi
ekslusif dan terpisah dari orang pribumi (Aceh). Jarak sosial dan budaya dengan
orang-orang terpandang dan mempunyai banyak uang serta berpendidikan tinggi
sehingga orang Tionghoa hidup berkelompok. Di samping itu tempat tinggal yang
tidak membaur merupakan faktor terjadinya jarak sosial antara etnis Tionghoa
dan etnis Aceh di Banda Aceh.
Orang Tionghoa yang dijuluki sebagai
merantau pada umunya suka kerja keras, rajin, hemat dan suka berbisnis sehingga
mereka cepat berhasil dan berkembang terutama di bidang bisnis dan perdagangan.
Keberhasilan mereka dimotivasi oleh sistem kepercayaan dan budaya mereka. O’Keefe (seperti
dikutip Setyawan:169) menjelaskan etnis Tionghoa dididik untuk mengendalikan
diri sendiri, mereka harus memahami bahwa mereka tidaklah penting secara
individual, namun peran mereka lah secara individual dalam berkelompok sangat
penting.
Peunayong
merupakan bagian dari Kota Banda Aceh dan lokasi mata pencaharian utama etnis
Tionghoa yang umumnya tumbuh dalam lingkungan pusat bisnis. Mereka mampu
beradaptasi dengan masyarakat Aceh terutama dalam hal perdagangan yang
cenderung menawarkan suatu produk dengan harga yang rendah, menampilkan ciri
khas dari kebudayaan mereka dari segi penampilan dan strategi sehingga mereka
terus dapat bertahan di Banda Aceh serta merambah ke berbagai sektor lainnya.
B. Tinjauan Pustaka
a) Definisi Etnis
Abdullah (seperti
dikutip Arisetya, 2015:13) menyebutkan Kata etnis berasal dari kata ethnos
yang dalam bahasa Yunani berarti “masyarakat”. Tumanggor (seperti dikutip Arisetya, 2015:13) juga menambahkan Etnis adalah golongan masyarakat
yang didefinisikan secara sosial berdasarkan berbagai macam karakteristik
kulturnya. Etnisitas atau kesukubangsaan selalu muncul dalam konteks interaksi
sosial pada masyarakat majemuk. Etnis dapat
ditentukan oleh adanya kesadaran kelompok, pengakuan atas kesatuan kebudayaan
dan juga persamaan asal-usul (Said, Jurnal
Mimbar Kesejahteraan Sosial, Mei 2019:2). Dalam proses sosial kelompok etnik akan
memanfaatkan atribut-atribut sosial-budaya yang dimiliki untuk mencapai tujuan tertentu.
Manifestasi etnisitas sering menimbulkan ketegangan dan konflik sosial di
antara pihak-pihak yang terlibat atau yang berkepentingan.
b) Mayoritas dan Minoritas
1.
Kelompok Mayoritas
Gollnick
dan Chinn (seperti dikutip arisetya, 2015:13) mengkaji kelompok mayoritas atau
kelompok dominan dalam suatu masyarakat merupakan kelompok yang merasa memiliki
kontrol atau kekuasaan untuk mengontrol. Konsep mayoritas sering dihubungkan
dengan dominant culture. Liliweri (seperti dikutip arisetya, 2015: 13) mengutarakan
konsep mayoritas menurut dipahami sebagai sebuah aspek yang berkaitan dengan
kehidupan kita, terutama dalam interaksi antarmanusia.
Definisi mayoritas adalah jumlah orang yang
banyak dalam suatu kelompok. Mayoritas ini bisa di bedakan berdasarkan kesamaan
agama, ras, etnis.Jadi
kelompok mayoritas dapat dikatakan sebagai kelompok yang memiliki kekuasaan
dominan atas kelompok minoritas baik dalam hal budaya, sosial, ekonomi, maupun
politik. Disini kelompok yang lebih Mayoritas yaitu Masyarakat Aceh atau Etnis
Aceh.
2.
Kelompok Minoritas
Minoritas
merupakan golongan sosial yang dimana jumlah warganya lebih sedikit
dibandingkan golongan sosial lain dalam suatu masyarakat (Murti dan triyanto, Jurnal Community, No. 1, April 2018:134). Yap Thiam Hien
(seperti dikutip fadhli, 2014:356) mengatakan minoritas tidak
ditentukan jumlah, tetapi perlakuan yang menentukan status minoritas. Sebuah studi minoritas mengajarkan
kepada kita bahwa setiap negara memiliki kelompok kecil yang disebut minoritas.
Ciri-ciri kelompok minoritas yaitu:
1. Kebangsaan yang berbeda;
2. Bahasa yang berbeda;
3. Agama yang berbeda;
4.
Kebiasaan
dan sebagainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kelompok
minoritas memiliki perbedaan baik dari segi budaya, fisik, kelas sosial,
ekonomi yang termarginalisasi oleh kelompok mayoritas (Ariesetya,
skripsi, 2015:15).
c)
Simbol Etnis
Mulyana
(seperti dikutip Hutapea, 2011:1)
menjelaskan simbol adalah suatu rangsangan mengandung makna dan nilai yang
dipelajari bagi manusia dan respon manusia terhadap simbol. Dillistone (seperti dikutip Wardani, 2010:8) mengatakan Pemahaman akan
makna dari simbol-simbol tersebut merupakan hal yang penting mengingat manusia
menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-simbol dan menrekontruksi
realitasnya itu dengan simbol. Simbol-simbol yang ditampilkan dalam sebuah
etnis akan mengandung berbagai makna tergantung dari persepsi pada sebuah
etnis. Simbol etnis Tionghoa dapat terlihat dari dapat terlihat dari pakaian,
sikap serta kepercayaan mereka. Karena itu, setiap sikap dan motivasi bisnis
orang Cina yang berhubungan erat dengan sistem kepercayaan dan visi bisnis
Etnis Tionghoa yang dipelopori oleh keluarga sehingga banyak bisnis yang
dikembangkan oleh keluarga, karena merupakan ideologi dan falsafah Etnis
Tionghoa.
C. Pembahasan
Pembahasan ini menemukan hal yang terkait hubungan etnis Tionghoa dengan
masyarakat Aceh dari aspek sosiologis sebagai berikut:
Teori
Dramaturgi
Menurut Goffman (seperti dikutip
Usman, 2009:15) kehidupan sosial atau manusia berinteraksi di mana saja dan
kapan saja, sebagai pemain teater yang setiap saat dapat menampilkan dirinya
berubah-ubah dan tergantung pada konteks dari interaksi yang dimaksud. Diri
yang ditampilkan manusia sangat beragam dan bervariasi, adakalanya manusia
menampilkan dirinya sebagai ayah yang baik, di lain pihak dalam suasana yang
berbeda seorang ayah menunjukkan dirinya sebagai manajer atau eksekutif yang
berwibawa. Sambungan dengan panggung sandiwara goffman, polama menyebutkan
bahwa kehidupan sebenarnya adalah laksana panggung sandiwara dan di sana memang
kita pamerkan serta sajikan kehidupan kita. Dan memang itulah seluruh waktu
yang kita miliki. Akan tetapi seperti apakah wujud panggung tersebut dan
bagaimana sosok manusia yang terlihat disana.
Teori dramaturgi memusatkan perhatian
pada interaksi sosial tatap muka sehingga saling mempengaruhi satu sama lain
ketika berhadapan secara fisik. Pada interaksi tatap muka, satu arena kegiatan
merupaka serangkaian tindakan individu. Dalam Mulyana (seperti dikutip
Usman, 2009:16) disebutkan
bahwa misi kaum dramatugis adalah mengetahui dinamika sosial dan menganjurkan
kepada mereka yang berpartisipasi dalam interaksi-interaksi tersebut untuk membuka
topeng para pemainnya serta memperbaiki kinerja mereka. Dalam pandangan
dramaturgis tentang kehidupan sosial, makna bukanlah warisan budaya,
sosialisasi, atau tatanan kelembagaan, atau perwujudan dari potensi psikologis
dan biologis melainkan pencapaian problematik dalam interaksi manusia dan penuh dengan
perubahan, kebaruan, dan kebingungan. Namun yang lebih penting lagi, makna
bersifat behavioral, secara sosial
terus berubah, arbitrer, dan merupakan ramuan interaksi manusia. Maka fokus
pendekatan dramaturgi adalah bukan apa yang orang lakukan, apa yang ingin
mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka
melakukan.
Penampilan untuk di definisikan situasi dapat ditampilkan oleh individu,
tetapi dapat pula ditampilkan pada selaku “tim” (team of performers). Penampilan
individu atau tim disaksikan oleh suatu “khalayak” (audience); orang yang
berada di luar ruangan sidang merupakan “orang lain” (outsider). Di kala
menyajikan penampilan di kawasan depan
tim berusaha menjaga solidaritas dan menutupi kesalahan anggota tim.
Dalam interaksi para pelaku berusaha menonjolkan kesepakatan dan membatasi
pertentangan (Sunarto, 2004:44) Teori
dramaturgi dalam berinteraksi dan berpartisipasi adalah untuk membuka topeng
para pemain guna memperbaiki kinerja mereka. Disamping itu dalam pandangan
dramaturgis, kehidupan sosial dan makna bukanlah warisan budaya tetapi
pencapaian problematika interaksi manusia adalah penuh dengan dinamika serba
mungkin atau sangat situasional yaitu menekankan pada ekspresif manusia. Dengan
kata lain, makna kegiatan manusia adalah pada cara mengekspresikan diri dalam
berinteraksi dengan orang lain yang ekspresif.
Dalam
teori dramaturgi, hubungan antar etnis Tionghoa dan masyarakat Aceh berawal
dari simbol perdagangan, yaitu interaksi antar masyarakat Aceh dan pedagang
Tionghoa. Yang berpusat di Peunayong,
sebagai tempat bersejarah datangnya etnis Tionghoa tersebut. Dari simbol
perdagangan kita lihat bahwa ada panggung sandiwara yang terjadi antar
masyarakat Aceh dan pedagang Tionghoa. Dimana para pembeli dan pedagang
memainkan peran nya sesuai dengan apa yang diperjual belikan. Masyarakat Aceh
yang menjadi mayoritas lebih di anggap
sebagai raja oleh para pedagang Tionghoa, yang dimana pembeli adalah raja.
Teori dramaturgi lebih menjelaskan bagaimana mereka melakukan kegiatan
perdagangan melalui interaksi antar suku/budaya yang berbeda. Salah satu proses
penampilan yang di tunjukan pedagang Tionghoa pada masa itu dengan menjual
produk-produk atau barang-barang dari China yang dibawa di Aceh untuk di perjualbelikan.
Peran yang dimainkan oleh pedagang Tionghoa menarik perhatian masyarakat Aceh
dalam berdagang. Suku Tionghoa yang menjadi minoritas di Aceh memilih untuk
menetap di suatu tempat untuk menjadi pedagang Tionghoa yang permanen. Lalu
munculah proses akulturasi antar budaya masyarakat Aceh dan etnis Tionghoa.
Etnis Tionghoa memperkenalkan budaya mereka dengan memainkan panggung teater,
seperti pertunjukkan barongsai. Penampilan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa
untuk menjalin silaturahmi dan toleransi yang kental antar di Aceh. Setelah
menjalin silaturahmi yang kuat etnis Tionghoa mulai mempelajari bahasa Aceh
pada masa itu guna untuk mempererat jalinan pedagang Tionghoa dengan masyarakat
Aceh maupun antar pedagang Aceh. Hidup sebagai minoritas dalam masyarakat Aceh,
dengan perbedaan budaya dan agama, tidak membuat etnis Tionghoa di Banda Aceh
terkukung.
Goffman
mengatakan, bahwa kehidupan manusia itu seperti panggung pertunjukan, ada back
stage (panggung belakang) dan front stage (panggung depan). Contoh; Pedagang
Tionghoa yang datang ke Aceh bekerja keras sebagai pedagang, menawarkan harga
barang, meggunakan pakaian ciri khas mereka, bersifat ramah kepada pembeli, dan
menjual barang2 baik dari China maupun dari Aceh dengan kualitas harga yang rendah
(Front stage). Dibalik itu semua, ada persiapan yang dilakukan para pedagang
Tionghoa yang datang ke Aceh. Seperti sebelum menjadi pedagang mereka orang
yang berkerja keras pernah menjadi buruh, menjadi pekerja pabrik, pelabuhan,
perkebunan, buruh kontrak kebun karet dan lainnya (Back stage). Sebagian uang
hasil kerja sehari-hari ini ditabung. Karena gigih bekerja, banyak di antara
mereka lebih cepat kaya ketimbang masyarakat Aceh. Tabungan inilah yang membuat
para pendatang etnis Tionghoa menjadi
pedagang untuk memainkan panggung sandiwara yang lebih baik. Pada saat ini banyak pedagang Tionghoa yang mulai
menguasai berbagai sektor, tak hanya makanan tetapi seperti elektronik,
bengkel, emas juga di perdagangkan oleh etnis Tionghoa.
Daftar
Pustaka
Arisetya, Dian. “Persepsi
Etnis Tionghoa Sebagai Kelompok Minoritas Terhadap Etnis Non-Tionghoa Dalam
Politik Multikulturalisme.” Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Lampung, 2015.
Fadhli, Zul Yogi. 2014. Kedudukan Minoritas dalam Perspektif HAM dan Perlindungan dalam
Hukumnya Di Indonesia. Jurnal Konstitusi, 356.
Hutapea, Edison. 2017. Identifikasi Diri Melalui Simbol-Simbol Komunikasi. Jurnal
Bricolage, 1.
Murti, Fahriza, Triyanto. 2018. Adaptasi Budaya Etnis Tionghoa di Meulaboh Aceh Barat. Jurnal
Community, 134.
Said, Irwanti. 2019. Hubungan Etnis Cina Dengan Pribumi:
Sebuah Tinjauan Sosiologis. Jurnal Mimbar Kesejahteraan Sosial, 2.
Setyawan, Surya. 2005. Konteks Budaya Etnis Tionghoa Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jurnal Benefit, 169.
Sunarto, Kamanto.
Pengantar Sosiologi Edisi Revisi. Jakarta:Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. 2004
Sutrisna, Deni. 2008. Peunayong
Kampung Lama Etnis Cina di Kota Banda Aceh. Jurnal Bas, 31.
Usman, Rani Abdul. Etnis Cina di Perantauan Aceh. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. 2009
Wardani, Kusuma Laksmi. Fungsi, Makna dan Simbol. Makalah
disampaikan dalam Seminar Jelajah Arsitektur Dunia, Jurusan Arsitektur
Universitas Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, 2010.
0 Comments