Michel
Foucault adalah seorang sosiolog dari Prancis yang lebih dikenal sebagai
filsuf, sejarawan, dan psikolog. Ia dikenal karena pemeikirannya mengenai
pengetahuan, kekuasaan, disiplin, hukuman, dan seksualitas. Argumentasi
Foucault mengajak kita untuk melihat ke belekang dan kedepan mengenai formulasi
kebijakan pragmatis dan kritik teoritis yang abstrak, untuk menyelidiki fungsi
dan akibat hubungan kekuasaan, bentuk-bentuk pengetahuan, dan cara berhubungan
secara etis antara satu orang dengan yang lain dalam praktik pendidikan.
Dalam buku “Foucault: His Thought, His Character”
menyebut Foucault dengan sebutan “mangkok, ikan mas, dan samurai”, yang
dimaknai dengan “indah, berwarna, dan tajam (kritis)”. Bahasa Foucault memang
sangat indah, dan sering kali sulit dipahami pembaca pemula. Pemikirannya juga
sangat kritis. Ia berupaya mengkritik dan membuka tabir berbagai praktik sosial
yang konservatif yang cenderung membelenggu individu (Paul Veyne, 2010:03).
Secara umum,
pemikiran Foucault dipengaruhi pemikiran Nietzsche. Akan tetepai, ia tidak
mengikuti seluruh pemikirannya, dan ia juga tidak ingin dikatakan sebagai pengikut
Nietzsche. Bagi Foucault, Nietzsche adalah seorang yang orisinal, sehingga ia
pun harus memiliki pemikiran yang orisinal pula, bukan mengadopsi atau meniru
pandangan orang lain. Jika sebelumnya Nietzsche telah memproklamasikan “kematian Tuhan”, maka Foucault telah
memproklamasikan “kematian manusia”.
Bagi Foucault, keberadaan manusia telah tiada, dan digantikan praktik-praktik
kekuasaan yang membelenggu mereka.
Karya-karya
Foucault lebih bernuansa filsafat, sejarah, politik, dan psikologi (kritis),
namun kemudian, ia juga dikenal sebagai seorang sosiolog dan psikiater (Allen,
2012; Jardine, 2005), dan ia berhasil mengembangkan sebuah metodologi sejarah
yang dinamakan arkeologi dan genealogi (Peters, 2007).
1.
Kekuasaan
dan Pengetahuan
Hubungan
antara kekuasaan dan pengetahuan menjadi tema sentral dalam seluruh studi yang
dilakukan Foucault sepanjang karier intelektualnya. Meski demikian, dari
seluruh karyanya, jarang sekali sebenarnya Foucault menjelaskan hubungan antara
kekuasaan dan pengetahuan secara eksplisit.
Konsep
kekuasaan Foucault memiliki pengertian yang berbeda dari konsep-konsep
kekuasaan yang mewarnai perspektif politik dari sudut pandang Marxian atau
Weberian. Kekuasaan bagi Foucault tidak dipahami dalam suatu hubungan
kepemilikan sebagai property, perolehan, atau hak istimewa yang dapat digenggam
oleh sekelompok kecil masyarakat dan yang dapat terancam punah. Kekuasaan juga
tidak dipahami beroperasi secara negative melalui tindakan respresif, koersif,
dan penekanan dari suatu institusi pemilik kekuasaan, termasuk Negara.
Kekuasaan
bukan merupakan fungsi dominasi dari suatu kelas yang didasarkan pada
penguasaan atas ekonomi atau manipulasi ideology (Marx), juga bukan dimiliki
berkat suatu charisma (Weber). Kekuasaan tidak dipandang seara negative,
melainkan positif dan produktif. Kekuasaan bukan merupakan institusi atau
struktur, bukan kekuatan yang dimiliki, tetapi kekuasaan merupakan istilah yang
digunakan untuk menyebut situasi strategis kompleks dalam masyarakat. Kekuasaan
Foucault mesti dipandang sebagai rekasi-relasi yang beragam dan tersebar
seperti jaringan, yang mempunyai ruang lingkup strategis.
Kekuasaan,
menurut Foucault, tidak dipahami dalam konteks pemilikan oleh suatu kelompok
institusional sebagai suatu mekanisme yang memastikan ketundukan warga negara
terhadap negara. Kekuasaan juga bukan mekanisme dominasi sebagai bentuk
kekuasaan terhadap yang lain dalam relasi yang mendominasi dengan yang
didominasi atau yang powerful dengan powerless. Kekuasaan bukan seperti halnya
bentuk kedaulatan suatu negara atau institusi hukum yang mengandaikan dominasi
atau penguasaan secara eksternal terhadap individu atau kelompok.
Demikian
menurut Foucault bagaimana kekuasaan harus dipahami: “kekuatan harus dipahami
pada contoh pertama sebagai multiplisitas hubungan kekuatan yang ada di dalam
bola di Indonesia yang mereka operasikan dan yang membentuk organisasi mereka
sendiri; sebagai proses yang, melalui perjuangan dan konfrontasi tanpa henti,
mentransformasi, memperkuat, atau menyimpannya; sebagai dukungan yang ditemukan
oleh hubungan-hubungan kekuatan ini dalam satu sama lain, sehingga membentuk
rantai atau sistem, atau sebaliknya, pemisahan dan kontradiksi yang mengisolasi
mereka satu sama lain; dan terakhir, sebagai strategi di mana mereka berlaku, yang
desain umum atau kelembagaan kristalisasi diwujudkan dalam aparatur negara,
dalam perumusan hukum, dalam berbagai hegemoni sosial” (Foucault, 1990:92).
Persoalan
kekuasaan bukanlah persoalan pemilikan, dalam konteks siapa menguasai siapa
atau siapa yang powerful sementara yang lain powerless. Kekuasaan itu tersebar,
berada di mana-mana (omnipresent), imanen terdapat dalam setiap relasi sosial.
Hal ini bukan karena kekuasaan itu memiliki kemampuan mengkonsolidasikan segala
sesuatu di bawah kondisi ketidaknampakannya, melainkan karena kekuasaan selalu
diproduksi dalam setiap momen dan setiap relasi. Kekuasaan itu ada di mana-mana
bukan karena ia merengkuh segala sesuatu melainkan karena ia datang dari
manapun. Dalam bukunya The History of Sexuality Vol. I, Foucault menunjukkan
ada lima proposisi mengenai apa yang dimaksudnya dengan kekuasaan, yakni :
a) Kekuasaan
bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau dibagikan sebagai sesuatu
yang dapat digenggam atau bahkan dapat juga punah; tetapi kekuasaan dijalankan
dari berbagai tempat dari relasi yang terus bergerak.
b) Relasi
kekuasaan bukanlah relasi struktural hirarkhis yang mengendalikan ada yang
menguasai dan yang dikuasai.
c) Kekuasaan
itu datang dari bahwa yang mengandaikan bahwa tidak ada lagi distingsi binary opositions karena kekuasaan itu
mencakup dalam keduanya.
d) Relasi
kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.
e) Di
mana ada kekuasaan, di situ pula ada anti kekuasaan (resistance). Dan resistensi tidak berada di luar relasi kekuasaan
itu, setiap orang berada dalam kekuasaan, tidak ada satu jalan pun untuk keluar
darinya (Foucault. 1990:94).
Menurut
Foucault, dengan demikian ada dua pendapat penting saat pengetahuan bertemu
dengan pikiran-pikiran tentang kemanusiaan. Pertama,
dengan pengetahuannya sendiri manusia merupakan mahluk yang dibatasi oleh
lingkungan sekitarnya. Kedua,
rasionalitas dan kebenaran selalu berubah sepanjang sejarah.
Untuk merumuskan sejarah
kebenaran dan rasionalitas tersebut, Foucault menggunakan analisis
strukturalisme sebagai alat bantu yang penting. Meskipun dia sendiri menolak
dikatakan sebagai bagian dari kaum strukturalis, Foucault diduga terpengaruh
oleh kedua gurunya, yakni Roland Barthes dan Louis Althusser. Lebih daripada
itu, Foucault juga pemaham yang baik terhadap ide-ide linguistika Saussure dan
Jakobson atau terhadap ide-ide antropologi antropologi Franz Boaz dan filologi
Georges Dumezil.
Menurut
Foucault, analisis struktural berguna dalam dua hal. Pertama, strukturalisme menyediakan pengertian-pengertian yang sistematis
dan akurat dalam membaca sejarah. Misalnya saja, ide kekuasaan Foucault yang
akhirnya diidentikkan sebagai makna relasional justru ditemukan inspirasinya
dari Saussure. Pengertian pertama ini memberitahukan bahwa menurut Foucault,
apapun bentuk pengetahuan, rasionalitas dan kebenaran tidak bisa ditemukan
maknanya dalam dirinya sendiri. Makna sesuatu selalu ditemukan dalam relasinya
dengan makna lain. Sebagai contoh, untuk memahami makna perempuan, seseorang
harus memahami juga makna laki-laki, anak-anak, jenis kelamin transeksual dan
seterusnya.
Kedua, di dalam strukturalisme, subjek
dan pribadi individual menjadi tidak berkekuatan atau mati. Subjek adalah
oknum-oknum yang dibatasi sekaligus larut dalam konteks. Konteks dalam
pengertian strukturalis adalah sistem sosial, sistem politik dan sistem budaya.
Menurut sudut pandang ini, individu tidak berpikir atau menciptakan makna,
sistemlah yang berpikir dan memproduksi makna melalui individu.
Meskipun
Foucault terpengaruh oleh strukturalisme, bukan berarti ia bukan pengktitik
strukturalisme. Menurut Foucault, strukturalisme punya dua kelemahan. Pertama, struturalisme hanya bisa
menganalisis relasi relasi dalam satuan periode sejarah sehingga ia tidak bisa
memahami keseluruhan makna. Sebagai contoh sebagaimana dijelaskan dalam kasus
psikoanalisis, analisis strukturalis tidak bisa menjelaskan makna-makna yang
datang dari luar struktur yang sebelumnya tersembunyi atau yang datang dari
satuan periode sejarah yang lain. Hal ini berarti bahwa strukturalisme adalah
alat analisis yang bagus tetapi berkekurangan. Kedua, strukturalisme tidak mampu menjelaskan kasus
perubahan-perubahan radikal dan ide tentang diskontinuitas. Hal ini berarti
bahwa sistem punya banyak pintu keluar dan setiap saat jalan sejarah bisa saja
memilih keluar dari jalannya sistem yang ada. Ide kedua Foucault tentang
strukturalisme ini juga sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh Nietzsche bahwa
ada lebih dari satu faktor penentu perkembangan sejarah dan pengetahuan. Setiap
subjek berhak memilih satu dan berhak menolak lainnya ketika berdasarkan naluri
subjektifnya salah satu faktor dianggap lebih penting.
Filsafat
Politik tradisional selalu berorientasi pada soal legitimasi. Kekuasaan adalah
sesuatu yang dilegitimasikan secara metafisis kepada Negara yang memungkinkan
Negara dapat mewajibkan semua orang untuk mematuhinya. Namun menurut Foucault,
kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya dikuasai oleh Negara, sesuatu yang dapat
diukur. Kekuasaan ada dimana-mana, karena kekuasaan adalah satu dimensi dari
relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan.
Dalam karyanya
The Order of Things, Archeology of Human
Sciences, Foucault menunjukkan bahwa ada dua perubahan besar yang terjadi
dalam bentuk umum pemikiran dan teorinya. Yang pertama terjadi pada pertengahan
abad ketujuhbelas, yang kedua pada awal abad kesembilan belas (Foucault,
2007:394). Setelah menganalisis diskursus ilmu pengetahuan abad 17 dan 18
seputar sejarah alam, teori uang dan nilai dan tata bahasa, Foucault mengambil
kesimpulan bahwa pusat ilmu pengetahuan pada waktu ini adalah tabel. Orang
hendak merepresentasikan realitas dalam tabel. Tabel adalah satu sistem tanda,
satu bentuk taksonomi umum dan sistematis dari benda-benda (Foucault,
2007:421). Dengan konsentrasi pada table, pengetahuan pada masa ini menjadi “ahistoris”.
Dengan
demikian, kita dapat melihat inti dari teori Foucault di sini menunjukkan bahwa
sakit mental hanya muncul sebagai sakit mental dalam satu kebudayaan yang
mendefinisikannya sebagai demikian. Karena menyangkut definisi, maka di dalam
sakit mental sebenarnya kekuasaan mendominasi. Kegilaan adalah yang berbeda
dari yang biasa, dan karena yang biasa dicirikan oleh produktivitas, maka
kegilaan adalah tidak adanya produktivitas. Penanganan kegilaan adalah satu
bentuk aplikasi kekuasaan seseorang atau satu kelompok orang atas yang lain,
bukan pertama-tama masalah pengetahuan psikologis (Foucault, 1990:74).
Dominasi
kekuasaan juga dapat dilihat dalam analisis atas tema seksualitas. Foucault
melihat seksualitas sebagai pengalihan pemahaman tentang kekuasaan. Bagaimana
seksualitas diwacanakan adalah ungkapan dari kekuasaan. Pembicaraan yang
terbuka tentang seks menurut Foucault, adalah demi mengatur dan mencatat jumlah
kelahiran. Masalah penduduk adalah masalah sosial, dan masalah ini berhubungan
dengan seksualitas. Karena itu, kekuasaan berusaha mempelajari dan
mengintervensi pembicaraan tentang seks demi pengaturan pertumbuhan penduduk.
Seksualitas menjadi masalah publik.
Pemikiran
Foucault mengenai sejarah pengetahuan, perkembangan wacana, dan praktik
kekuasaan. Konsep kekuasaan merupakan “konsep kunci” dalam pemikirannya. Hal ni
disebabkan setiap analisisnya mengenai fenomena masyarakat modern selalu
dikaitkan dengan konsep kekuasaan ini, sehingga tidak mengherankan apabila
istilah kekuasaan ini selalu ada di setiap karyanya (Martono, 2014:46).
2.
Hukuman
dan Disiplin
Dalam Discipline and Punish, Foucault
menelusuri perubahan-perubahan bentuk metode-metode menghukum berdasarkan suatu
teknologi politisi terhadap tubuh. Foucault hendak melihat keterkaitan antara
bentuk-bentuk penaklukan atas tubuh, pikiran, kehendak, kemauan,
dorongandorongan dari individu modern dengan strategi-strategi pelaksanaan
penghukuman yang mampu melahirkan manusia sebagai obyek pengetahuan bagi suatu
tuturan dengan status ilmiah.
Dalam bukunya
Discipline and Punish, Michel Foucault mencoba menganalisis perubahan dan
pergeseran strategi menghukum yang terjadi dalam kurun waktu dua abad dari
paruh kedua abad ke-17 hingga abad ke19, bahkan dampaknya terasa hingga saat
ini. Foucault mensinyalir kurun tersebut merupakan kurun mulai diperhatikannya
aspek kemanusiaan dalam hukuman di Eropa dan Amerika yang ditandai oleh
pergeseran dari siksaan publik ke bentuk pengaturan waktu (dalam penjara).
Foucault
memperhatikan gejala menghilangnya hukuman penyiksaan sebagai ‘tontonan’.
Hukuman yang disertai siksaan dan dipertontonkan mulai dihapuskan dan maknanya
segera dilupakan orang. Gejala ini ditafsirkan orang sebagai gejala mulai diperhatikannya
‘kemanusiaan’. Tetapi bagi Foucault, penafsiran seperti itu hanya merupakan
akibat kurangnya kemauan untuk menganalisis secara lebih mendalam.
Perubahan ini
menandai strategi menghukum yang tidak segera menyentuh tubuh sebagai
sasarannya. Beberapa bentuk upacara hukuman seperti “amende honorable”, hukuman cambuk, dan kerja paksa di jalan-jalan
dihapuskan. Praktek penghukuman yang langsung menyentuh fisik dipandang sebagai
sama saja dengan kekejaman dari kejahatan itu sendiri.
Perubahan ini
disusul oleh hukuman yang menjadi bagian amat tersembunyi di dalam proses
peradilan. Hukuman memasuki kesadaran-kesadaran abstrak dan meninggalkan
wilayah pengertian sehari-harin sebagai iksaan yang dipertontonkan. Yang
terpenting dalam hukuman tidak lagi menjadi tontonan, melainkan kepastian bahwa
kejahatan sudah dihukum. Lebih dari itu, berubah pula alas an yang mendasari
pelaksanaan hukuman yakni bukan lagi keinginan untuk menghukum, melainkan
kehendak untuk mengoreksi.
Pengurangan
kerasnya hukuman selama dua abad telah biasa ditangkap sebagai gejala bahwa
hukuman tidak lagi kejam, tidak lagi menyakitkan, dan lebih memperhatikan
kemanusiaan. Namun menurut Foucault, yang terjadi di situ sebenarnya hanya
perubahan sasaran. Bila hukuman tidak lagi menyentuh tubuh, lalu apa yang
disentuh? Menurut Foucault, jawabannya amat jelas, yakni ‘jiwa’.
Hukuman harus
menyentuh kedalaman hati, pemikiran, kehendak, dan kecenderungan. Hukuman
dikaitkan dengan pengenalan akan masa lampau penjahat, kejahatannya, dan apa
yang dapat diharapkan dari dia di masa mendatang. Penjahat dihukum dengan
sistem hukuman baru, yakni hukuman internal yang disesuaikan dengan
perkembangan individu. Hukuman dimaksudkan untuk mengawasi individu,
menetralkan bahayanya dan mengubah kecenderungan jahatnya. Melalui pengetahuan
tentang individu tersebut, mekanisme hukuman yang sah dilengkapi dengan
pembenaran yang berdasarkan bukan hanya pada kejahatan, tetapi juga pada
individu; bukan hanya pada apa yang ia perbuat, tetapi pada individu itu
sendiri. Dengan begitu mengadili merupakan penegakan kebenaran kejahatan.
Kekerasan atau
hukuman fisik untuk mendapat kepatuhan tubuh merupakan teknik pendisiplinan dan
pedagogi paling kasar dan primitif. Dari perspektif hubungan kekuasaan,
tindakan melalui kekerasan fisik menunjukkan kekuasaan tidak efektif.
Foucault
menunjukkan ada empat metode disiplin untuk menjadikan tubuh-tubuh yang patuh,
yaitu antara lain:
a. Seni
penyebaran (The Art of Distributions)
b. Kontrol
aktivitas (The Control of Aktivity)
c. Strategi
untuk menambah kegunaan waktu
d. Kekuatan
yang tersusun
3.
Seksualitas
Wacana
seksualitas pada masyarakat klasik hingga masyarakat modern. Menurut Foucault,
wacana seksualitas yang berkembang di masyarakat dipengaruhi oleh praktik
kekuasaan. Penguasa telah mengubah ruang gerak seksualitas ini. Ketika pada
awalnya seksualitas menjadi wacana umum, kemudian oleh penguasa, wacana seks
ditarik dan dibatasi di ruang privat saja, yaitu dalam pernikahan. Wacana
inipun kemudian berubah, hingga pada akhirnya wacana seksualitas kembali menjadi
wacana umum.
Michel
Foucault menjelaskan bahwa dalam seksualitas dibangun perlengkapan atau mesin
yang diperuntukan untuk memproduksi kebenaran, artinya wacana kekuasaan
memiliki fungsi untuk menampung atau menyembunyikan kebenaran. Seks kemudian tidak
hanya mengenai sensasi dan kenikmatan, atau hukum dan larangan, tetapi di dalam
seks juga dipertaruhkan masalah benar dan salah. Dan mengetahui apakah seks itu
benar atau berbahaya membuka peluang dominasi dalam interaksi kekuasaan yang
kemudian akan berubah menjadi narasi-narasi besar (Foucault, 1990:76).
Foucault,
masih dalam bukunya History of Sexuality jilid I, menegaskan bahwa kekuasaan
bertentangan dengan tafsiran kekuasaan sebagai asas pemersatu atau sebagai asas
yang terpancar dari satu sumber. Bagi Foucault, kekuasaan berfungsi sebagai
suatu model strategis yang canggih dalam masyarakat tertentu, yang dibentuk
dari kekuasaan kekuasaan mikro yang terpisah-pisah. Foucault mengartikan kuasa
sebagai “nama yang diberikan kepada situasi strategis yang rumit dalam
masyarakat tertentu.” Kuasa tidaklah terpusat di satu titik, namun tersebar,
berpencar dan hadir dimana-mana. Ia beroperasi melalui hegemoni norma,
teknologi, politik, dan pembentukan tubuh-jiwa.
Dalam
pemikiran Foucault terdapat paradigma prasangka prasangka bahwa seks adalah
instinctual disturbance, penyebab laten segala penyimpangan yang mungkin
terjadi pada diri individu pasangan suami istri, anak, dan keluarga. Uraian
Foucault tersebut merupakan ujung dari pendapatnya di dalam buku The History of
Sexuality jilid I, bahwa seksualitas di zaman modern bukan sesuatu yang natural
given lagi, melainkan suatu bentuk kontruksi. Kemudian masih dalam buku yang
sama, Seno Joko Suyono menyimpulkan bahwa tubuh merupakan tempat paling
esensial untuk mengamati penyebaran dan beroperasinya kekuasaan dalam
masyarakat barat modern.
Tubuh adalah
tempat dimana praktek-praktek sosial yang paling lokal dan mikro mempertatutkan
dirinya dengan sirkulasi kekuasaan impersonal dalam skala besar. Bahkan lebih
jauh, tercapai suatu kejelasan bagaimana suatu tubuh sampai digolong-golongkan,
dikontitusi, ditematisasikan, dan dimanipulasi oleh kekuasan (Suyono: Tubuh yang rasis).
Masih dalam
bukunya History of Sexuality, Foucault menjelaskan bahwa perlahan-lahan telah muncul
spesifikasi baru individu-individu yang disebabkan oleh perburuan terhadap
seksualitas yang menyimpang dari aturan kekuasaan. Sodomi, sebagaimana yang
dikenal pada saat itu dalam hukum perdata ataupun hukum agama, adalah salah
satu jenis dari tindakan terlarang. Pada abad ke-19, homoseksual sudah menjadi
tokoh yang memiliki suatu masa lalu suatu kisah pengalaman dan suatu masa
kanak-kanak, suatu sifat, suatu gaya hidup, suatu morfologi, berikut anatomi
yang berani, dan mungkin fisiologi yang penuh misteri. Namun seksualitas tidak
pernah terpisahkan dari sosok homoseksual dan lebih merupakan kodrat khasnya
daripada kebiasaan yang mengandung dosa (Foucault, 1990:52).
Ruang gerak
seksualtas semakin melebar dengan hadirnya wacana kapitalisme yang turut memanfaatkan
seksualitas untuk mewujudkan kepentingan mereka. Wacana seksualitas ini juga
merambah ke institusi sekolah. Pendidikan seks menjadi isu yang berkembang
dalam kebijakan pendidikan, termasuk di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi
adanya degradasi moral di kalangan remaja: pergaulan bebas, seks bebas, yang
semuanya memerlukan penanganan yang sangat serius: dan ini semua harus
melibatkan lembaga pendidikan.
Referensi:
Foucoult, Michel. (1978). The
History of Sexuality Volume I: An Introduction. New York: Pantheon Books.
Martono, Nanang. 2014. SOSIOLOGI
PENDIDIKAN MICHEL FOUCAULT Pengetahuan, Kekuasaan, Disiplin, Hukuman, dan
Seksualitas (Jakarta: Rajawali Pers.
Ritzer, George dan
Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi) (2010). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Mutakhir Teori Sosial Postmoder, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
0 Comments