Michel Foucault Theory (1925-1984)

Michel Foucault adalah seorang sosiolog dari Prancis yang lebih dikenal sebagai filsuf, sejarawan, dan psikolog. Ia dikenal karena pemeikirannya mengenai pengetahuan, kekuasaan, disiplin, hukuman, dan seksualitas. Argumentasi Foucault mengajak kita untuk melihat ke belekang dan kedepan mengenai formulasi kebijakan pragmatis dan kritik teoritis yang abstrak, untuk menyelidiki fungsi dan akibat hubungan kekuasaan, bentuk-bentuk pengetahuan, dan cara berhubungan secara etis antara satu orang dengan yang lain dalam praktik pendidikan.
Dalam buku “Foucault: His Thought, His Character” menyebut Foucault dengan sebutan “mangkok, ikan mas, dan samurai”, yang dimaknai dengan “indah, berwarna, dan tajam (kritis)”. Bahasa Foucault memang sangat indah, dan sering kali sulit dipahami pembaca pemula. Pemikirannya juga sangat kritis. Ia berupaya mengkritik dan membuka tabir berbagai praktik sosial yang konservatif yang cenderung membelenggu individu (Paul Veyne, 2010:03).
Secara umum, pemikiran Foucault dipengaruhi pemikiran Nietzsche. Akan tetepai, ia tidak mengikuti seluruh pemikirannya, dan ia juga tidak ingin dikatakan sebagai pengikut Nietzsche. Bagi Foucault, Nietzsche adalah seorang yang orisinal, sehingga ia pun harus memiliki pemikiran yang orisinal pula, bukan mengadopsi atau meniru pandangan orang lain. Jika sebelumnya Nietzsche telah memproklamasikan “kematian Tuhan”, maka Foucault telah memproklamasikan “kematian manusia”. Bagi Foucault, keberadaan manusia telah tiada, dan digantikan praktik-praktik kekuasaan yang membelenggu mereka.
Karya-karya Foucault lebih bernuansa filsafat, sejarah, politik, dan psikologi (kritis), namun kemudian, ia juga dikenal sebagai seorang sosiolog dan psikiater (Allen, 2012; Jardine, 2005), dan ia berhasil mengembangkan sebuah metodologi sejarah yang dinamakan arkeologi dan genealogi (Peters, 2007).
1.        Kekuasaan dan Pengetahuan
Hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan menjadi tema sentral dalam seluruh studi yang dilakukan Foucault sepanjang karier intelektualnya. Meski demikian, dari seluruh karyanya, jarang sekali sebenarnya Foucault menjelaskan hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan secara eksplisit.
Konsep kekuasaan Foucault memiliki pengertian yang berbeda dari konsep-konsep kekuasaan yang mewarnai perspektif politik dari sudut pandang Marxian atau Weberian. Kekuasaan bagi Foucault tidak dipahami dalam suatu hubungan kepemilikan sebagai property, perolehan, atau hak istimewa yang dapat digenggam oleh sekelompok kecil masyarakat dan yang dapat terancam punah. Kekuasaan juga tidak dipahami beroperasi secara negative melalui tindakan respresif, koersif, dan penekanan dari suatu institusi pemilik kekuasaan, termasuk Negara.
Kekuasaan bukan merupakan fungsi dominasi dari suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi atau manipulasi ideology (Marx), juga bukan dimiliki berkat suatu charisma (Weber). Kekuasaan tidak dipandang seara negative, melainkan positif dan produktif. Kekuasaan bukan merupakan institusi atau struktur, bukan kekuatan yang dimiliki, tetapi kekuasaan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut situasi strategis kompleks dalam masyarakat. Kekuasaan Foucault mesti dipandang sebagai rekasi-relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan, yang mempunyai ruang lingkup strategis.
Kekuasaan, menurut Foucault, tidak dipahami dalam konteks pemilikan oleh suatu kelompok institusional sebagai suatu mekanisme yang memastikan ketundukan warga negara terhadap negara. Kekuasaan juga bukan mekanisme dominasi sebagai bentuk kekuasaan terhadap yang lain dalam relasi yang mendominasi dengan yang didominasi atau yang powerful dengan powerless. Kekuasaan bukan seperti halnya bentuk kedaulatan suatu negara atau institusi hukum yang mengandaikan dominasi atau penguasaan secara eksternal terhadap individu atau kelompok.
Demikian menurut Foucault bagaimana kekuasaan harus dipahami: “kekuatan harus dipahami pada contoh pertama sebagai multiplisitas hubungan kekuatan yang ada di dalam bola di Indonesia yang mereka operasikan dan yang membentuk organisasi mereka sendiri; sebagai proses yang, melalui perjuangan dan konfrontasi tanpa henti, mentransformasi, memperkuat, atau menyimpannya; sebagai dukungan yang ditemukan oleh hubungan-hubungan kekuatan ini dalam satu sama lain, sehingga membentuk rantai atau sistem, atau sebaliknya, pemisahan dan kontradiksi yang mengisolasi mereka satu sama lain; dan terakhir, sebagai strategi di mana mereka berlaku, yang desain umum atau kelembagaan kristalisasi diwujudkan dalam aparatur negara, dalam perumusan hukum, dalam berbagai hegemoni sosial” (Foucault, 1990:92).
Persoalan kekuasaan bukanlah persoalan pemilikan, dalam konteks siapa menguasai siapa atau siapa yang powerful sementara yang lain powerless. Kekuasaan itu tersebar, berada di mana-mana (omnipresent), imanen terdapat dalam setiap relasi sosial. Hal ini bukan karena kekuasaan itu memiliki kemampuan mengkonsolidasikan segala sesuatu di bawah kondisi ketidaknampakannya, melainkan karena kekuasaan selalu diproduksi dalam setiap momen dan setiap relasi. Kekuasaan itu ada di mana-mana bukan karena ia merengkuh segala sesuatu melainkan karena ia datang dari manapun. Dalam bukunya The History of Sexuality Vol. I, Foucault menunjukkan ada lima proposisi mengenai apa yang dimaksudnya dengan kekuasaan, yakni :
a)      Kekuasaan bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau dibagikan sebagai sesuatu yang dapat digenggam atau bahkan dapat juga punah; tetapi kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dari relasi yang terus bergerak.
b)      Relasi kekuasaan bukanlah relasi struktural hirarkhis yang mengendalikan ada yang menguasai dan yang dikuasai.
c)      Kekuasaan itu datang dari bahwa yang mengandaikan bahwa tidak ada lagi distingsi binary opositions karena kekuasaan itu mencakup dalam keduanya.
d)     Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.
e)      Di mana ada kekuasaan, di situ pula ada anti kekuasaan (resistance). Dan resistensi tidak berada di luar relasi kekuasaan itu, setiap orang berada dalam kekuasaan, tidak ada satu jalan pun untuk keluar darinya (Foucault. 1990:94).
Menurut Foucault, dengan demikian ada dua pendapat penting saat pengetahuan bertemu dengan pikiran-pikiran tentang kemanusiaan. Pertama, dengan pengetahuannya sendiri manusia merupakan mahluk yang dibatasi oleh lingkungan sekitarnya. Kedua, rasionalitas dan kebenaran selalu berubah sepanjang sejarah.
Untuk merumuskan sejarah kebenaran dan rasionalitas tersebut, Foucault menggunakan analisis strukturalisme sebagai alat bantu yang penting. Meskipun dia sendiri menolak dikatakan sebagai bagian dari kaum strukturalis, Foucault diduga terpengaruh oleh kedua gurunya, yakni Roland Barthes dan Louis Althusser. Lebih daripada itu, Foucault juga pemaham yang baik terhadap ide-ide linguistika Saussure dan Jakobson atau terhadap ide-ide antropologi antropologi Franz Boaz dan filologi Georges Dumezil.
Menurut Foucault, analisis struktural berguna dalam dua hal. Pertama, strukturalisme menyediakan pengertian-pengertian yang sistematis dan akurat dalam membaca sejarah. Misalnya saja, ide kekuasaan Foucault yang akhirnya diidentikkan sebagai makna relasional justru ditemukan inspirasinya dari Saussure. Pengertian pertama ini memberitahukan bahwa menurut Foucault, apapun bentuk pengetahuan, rasionalitas dan kebenaran tidak bisa ditemukan maknanya dalam dirinya sendiri. Makna sesuatu selalu ditemukan dalam relasinya dengan makna lain. Sebagai contoh, untuk memahami makna perempuan, seseorang harus memahami juga makna laki-laki, anak-anak, jenis kelamin transeksual dan seterusnya.
Kedua, di dalam strukturalisme, subjek dan pribadi individual menjadi tidak berkekuatan atau mati. Subjek adalah oknum-oknum yang dibatasi sekaligus larut dalam konteks. Konteks dalam pengertian strukturalis adalah sistem sosial, sistem politik dan sistem budaya. Menurut sudut pandang ini, individu tidak berpikir atau menciptakan makna, sistemlah yang berpikir dan memproduksi makna melalui individu.
Meskipun Foucault terpengaruh oleh strukturalisme, bukan berarti ia bukan pengktitik strukturalisme. Menurut Foucault, strukturalisme punya dua kelemahan. Pertama, struturalisme hanya bisa menganalisis relasi relasi dalam satuan periode sejarah sehingga ia tidak bisa memahami keseluruhan makna. Sebagai contoh sebagaimana dijelaskan dalam kasus psikoanalisis, analisis strukturalis tidak bisa menjelaskan makna-makna yang datang dari luar struktur yang sebelumnya tersembunyi atau yang datang dari satuan periode sejarah yang lain. Hal ini berarti bahwa strukturalisme adalah alat analisis yang bagus tetapi berkekurangan. Kedua, strukturalisme tidak mampu menjelaskan kasus perubahan-perubahan radikal dan ide tentang diskontinuitas. Hal ini berarti bahwa sistem punya banyak pintu keluar dan setiap saat jalan sejarah bisa saja memilih keluar dari jalannya sistem yang ada. Ide kedua Foucault tentang strukturalisme ini juga sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh Nietzsche bahwa ada lebih dari satu faktor penentu perkembangan sejarah dan pengetahuan. Setiap subjek berhak memilih satu dan berhak menolak lainnya ketika berdasarkan naluri subjektifnya salah satu faktor dianggap lebih penting.
Filsafat Politik tradisional selalu berorientasi pada soal legitimasi. Kekuasaan adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara metafisis kepada Negara yang memungkinkan Negara dapat mewajibkan semua orang untuk mematuhinya. Namun menurut Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya dikuasai oleh Negara, sesuatu yang dapat diukur. Kekuasaan ada dimana-mana, karena kekuasaan adalah satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan.
Dalam karyanya The Order of Things, Archeology of Human Sciences, Foucault menunjukkan bahwa ada dua perubahan besar yang terjadi dalam bentuk umum pemikiran dan teorinya. Yang pertama terjadi pada pertengahan abad ketujuhbelas, yang kedua pada awal abad kesembilan belas (Foucault, 2007:394). Setelah menganalisis diskursus ilmu pengetahuan abad 17 dan 18 seputar sejarah alam, teori uang dan nilai dan tata bahasa, Foucault mengambil kesimpulan bahwa pusat ilmu pengetahuan pada waktu ini adalah tabel. Orang hendak merepresentasikan realitas dalam tabel. Tabel adalah satu sistem tanda, satu bentuk taksonomi umum dan sistematis dari benda-benda (Foucault, 2007:421). Dengan konsentrasi pada table, pengetahuan pada masa ini menjadi “ahistoris”.
Dengan demikian, kita dapat melihat inti dari teori Foucault di sini menunjukkan bahwa sakit mental hanya muncul sebagai sakit mental dalam satu kebudayaan yang mendefinisikannya sebagai demikian. Karena menyangkut definisi, maka di dalam sakit mental sebenarnya kekuasaan mendominasi. Kegilaan adalah yang berbeda dari yang biasa, dan karena yang biasa dicirikan oleh produktivitas, maka kegilaan adalah tidak adanya produktivitas. Penanganan kegilaan adalah satu bentuk aplikasi kekuasaan seseorang atau satu kelompok orang atas yang lain, bukan pertama-tama masalah pengetahuan psikologis (Foucault, 1990:74).
Dominasi kekuasaan juga dapat dilihat dalam analisis atas tema seksualitas. Foucault melihat seksualitas sebagai pengalihan pemahaman tentang kekuasaan. Bagaimana seksualitas diwacanakan adalah ungkapan dari kekuasaan. Pembicaraan yang terbuka tentang seks menurut Foucault, adalah demi mengatur dan mencatat jumlah kelahiran. Masalah penduduk adalah masalah sosial, dan masalah ini berhubungan dengan seksualitas. Karena itu, kekuasaan berusaha mempelajari dan mengintervensi pembicaraan tentang seks demi pengaturan pertumbuhan penduduk. Seksualitas menjadi masalah publik.
Pemikiran Foucault mengenai sejarah pengetahuan, perkembangan wacana, dan praktik kekuasaan. Konsep kekuasaan merupakan “konsep kunci” dalam pemikirannya. Hal ni disebabkan setiap analisisnya mengenai fenomena masyarakat modern selalu dikaitkan dengan konsep kekuasaan ini, sehingga tidak mengherankan apabila istilah kekuasaan ini selalu ada di setiap karyanya (Martono, 2014:46).
2.        Hukuman dan Disiplin
Dalam Discipline and Punish, Foucault menelusuri perubahan-perubahan bentuk metode-metode menghukum berdasarkan suatu teknologi politisi terhadap tubuh. Foucault hendak melihat keterkaitan antara bentuk-bentuk penaklukan atas tubuh, pikiran, kehendak, kemauan, dorongandorongan dari individu modern dengan strategi-strategi pelaksanaan penghukuman yang mampu melahirkan manusia sebagai obyek pengetahuan bagi suatu tuturan dengan status ilmiah.
Dalam bukunya Discipline and Punish, Michel Foucault mencoba menganalisis perubahan dan pergeseran strategi menghukum yang terjadi dalam kurun waktu dua abad dari paruh kedua abad ke-17 hingga abad ke19, bahkan dampaknya terasa hingga saat ini. Foucault mensinyalir kurun tersebut merupakan kurun mulai diperhatikannya aspek kemanusiaan dalam hukuman di Eropa dan Amerika yang ditandai oleh pergeseran dari siksaan publik ke bentuk pengaturan waktu (dalam penjara).
Foucault memperhatikan gejala menghilangnya hukuman penyiksaan sebagai ‘tontonan’. Hukuman yang disertai siksaan dan dipertontonkan mulai dihapuskan dan maknanya segera dilupakan orang. Gejala ini ditafsirkan orang sebagai gejala mulai diperhatikannya ‘kemanusiaan’. Tetapi bagi Foucault, penafsiran seperti itu hanya merupakan akibat kurangnya kemauan untuk menganalisis secara lebih mendalam.
Perubahan ini menandai strategi menghukum yang tidak segera menyentuh tubuh sebagai sasarannya. Beberapa bentuk upacara hukuman seperti “amende honorable”, hukuman cambuk, dan kerja paksa di jalan-jalan dihapuskan. Praktek penghukuman yang langsung menyentuh fisik dipandang sebagai sama saja dengan kekejaman dari kejahatan itu sendiri.
Perubahan ini disusul oleh hukuman yang menjadi bagian amat tersembunyi di dalam proses peradilan. Hukuman memasuki kesadaran-kesadaran abstrak dan meninggalkan wilayah pengertian sehari-harin sebagai iksaan yang dipertontonkan. Yang terpenting dalam hukuman tidak lagi menjadi tontonan, melainkan kepastian bahwa kejahatan sudah dihukum. Lebih dari itu, berubah pula alas an yang mendasari pelaksanaan hukuman yakni bukan lagi keinginan untuk menghukum, melainkan kehendak untuk mengoreksi.
Pengurangan kerasnya hukuman selama dua abad telah biasa ditangkap sebagai gejala bahwa hukuman tidak lagi kejam, tidak lagi menyakitkan, dan lebih memperhatikan kemanusiaan. Namun menurut Foucault, yang terjadi di situ sebenarnya hanya perubahan sasaran. Bila hukuman tidak lagi menyentuh tubuh, lalu apa yang disentuh? Menurut Foucault, jawabannya amat jelas, yakni ‘jiwa’.
Hukuman harus menyentuh kedalaman hati, pemikiran, kehendak, dan kecenderungan. Hukuman dikaitkan dengan pengenalan akan masa lampau penjahat, kejahatannya, dan apa yang dapat diharapkan dari dia di masa mendatang. Penjahat dihukum dengan sistem hukuman baru, yakni hukuman internal yang disesuaikan dengan perkembangan individu. Hukuman dimaksudkan untuk mengawasi individu, menetralkan bahayanya dan mengubah kecenderungan jahatnya. Melalui pengetahuan tentang individu tersebut, mekanisme hukuman yang sah dilengkapi dengan pembenaran yang berdasarkan bukan hanya pada kejahatan, tetapi juga pada individu; bukan hanya pada apa yang ia perbuat, tetapi pada individu itu sendiri. Dengan begitu mengadili merupakan penegakan kebenaran kejahatan.
Kekerasan atau hukuman fisik untuk mendapat kepatuhan tubuh merupakan teknik pendisiplinan dan pedagogi paling kasar dan primitif. Dari perspektif hubungan kekuasaan, tindakan melalui kekerasan fisik menunjukkan kekuasaan tidak efektif.
Foucault menunjukkan ada empat metode disiplin untuk menjadikan tubuh-tubuh yang patuh, yaitu antara lain:
a.       Seni penyebaran (The Art of Distributions)
b.      Kontrol aktivitas (The Control of Aktivity)
c.       Strategi untuk menambah kegunaan waktu
d.      Kekuatan yang tersusun
3.        Seksualitas
Wacana seksualitas pada masyarakat klasik hingga masyarakat modern. Menurut Foucault, wacana seksualitas yang berkembang di masyarakat dipengaruhi oleh praktik kekuasaan. Penguasa telah mengubah ruang gerak seksualitas ini. Ketika pada awalnya seksualitas menjadi wacana umum, kemudian oleh penguasa, wacana seks ditarik dan dibatasi di ruang privat saja, yaitu dalam pernikahan. Wacana inipun kemudian berubah, hingga pada akhirnya wacana seksualitas kembali menjadi wacana umum.
Michel Foucault menjelaskan bahwa dalam seksualitas dibangun perlengkapan atau mesin yang diperuntukan untuk memproduksi kebenaran, artinya wacana kekuasaan memiliki fungsi untuk menampung atau menyembunyikan kebenaran. Seks kemudian tidak hanya mengenai sensasi dan kenikmatan, atau hukum dan larangan, tetapi di dalam seks juga dipertaruhkan masalah benar dan salah. Dan mengetahui apakah seks itu benar atau berbahaya membuka peluang dominasi dalam interaksi kekuasaan yang kemudian akan berubah menjadi narasi-narasi besar (Foucault, 1990:76).
Foucault, masih dalam bukunya History of Sexuality jilid I, menegaskan bahwa kekuasaan bertentangan dengan tafsiran kekuasaan sebagai asas pemersatu atau sebagai asas yang terpancar dari satu sumber. Bagi Foucault, kekuasaan berfungsi sebagai suatu model strategis yang canggih dalam masyarakat tertentu, yang dibentuk dari kekuasaan kekuasaan mikro yang terpisah-pisah. Foucault mengartikan kuasa sebagai “nama yang diberikan kepada situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu.” Kuasa tidaklah terpusat di satu titik, namun tersebar, berpencar dan hadir dimana-mana. Ia beroperasi melalui hegemoni norma, teknologi, politik, dan pembentukan tubuh-jiwa.
Dalam pemikiran Foucault terdapat paradigma prasangka prasangka bahwa seks adalah instinctual disturbance, penyebab laten segala penyimpangan yang mungkin terjadi pada diri individu pasangan suami istri, anak, dan keluarga. Uraian Foucault tersebut merupakan ujung dari pendapatnya di dalam buku The History of Sexuality jilid I, bahwa seksualitas di zaman modern bukan sesuatu yang natural given lagi, melainkan suatu bentuk kontruksi. Kemudian masih dalam buku yang sama, Seno Joko Suyono menyimpulkan bahwa tubuh merupakan tempat paling esensial untuk mengamati penyebaran dan beroperasinya kekuasaan dalam masyarakat barat modern.
Tubuh adalah tempat dimana praktek-praktek sosial yang paling lokal dan mikro mempertatutkan dirinya dengan sirkulasi kekuasaan impersonal dalam skala besar. Bahkan lebih jauh, tercapai suatu kejelasan bagaimana suatu tubuh sampai digolong-golongkan, dikontitusi, ditematisasikan, dan dimanipulasi oleh kekuasan (Suyono: Tubuh yang rasis).
Masih dalam bukunya History of Sexuality, Foucault menjelaskan bahwa perlahan-lahan telah muncul spesifikasi baru individu-individu yang disebabkan oleh perburuan terhadap seksualitas yang menyimpang dari aturan kekuasaan. Sodomi, sebagaimana yang dikenal pada saat itu dalam hukum perdata ataupun hukum agama, adalah salah satu jenis dari tindakan terlarang. Pada abad ke-19, homoseksual sudah menjadi tokoh yang memiliki suatu masa lalu suatu kisah pengalaman dan suatu masa kanak-kanak, suatu sifat, suatu gaya hidup, suatu morfologi, berikut anatomi yang berani, dan mungkin fisiologi yang penuh misteri. Namun seksualitas tidak pernah terpisahkan dari sosok homoseksual dan lebih merupakan kodrat khasnya daripada kebiasaan yang mengandung dosa (Foucault, 1990:52).
Ruang gerak seksualtas semakin melebar dengan hadirnya wacana kapitalisme yang turut memanfaatkan seksualitas untuk mewujudkan kepentingan mereka. Wacana seksualitas ini juga merambah ke institusi sekolah. Pendidikan seks menjadi isu yang berkembang dalam kebijakan pendidikan, termasuk di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi adanya degradasi moral di kalangan remaja: pergaulan bebas, seks bebas, yang semuanya memerlukan penanganan yang sangat serius: dan ini semua harus melibatkan lembaga pendidikan.

Referensi:
Foucoult, Michel. (1978). The History of Sexuality Volume I: An Introduction. New York: Pantheon Books.
Martono, Nanang. 2014. SOSIOLOGI PENDIDIKAN MICHEL FOUCAULT Pengetahuan, Kekuasaan, Disiplin, Hukuman, dan Seksualitas (Jakarta: Rajawali Pers.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi) (2010). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmoder, Yogyakarta: Kreasi Wacana.




Post a Comment

0 Comments