Sultan Terakhir Kerajaan
Aceh Darussalam
Tuanku Muhammad Daud dengan gelar
Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah. Sultan adalah Sultan terakhir Kerajaan Aceh
Drussalam yang ke 31. Sultan adalah putra Tuanku Zainal Abidin bin Sultan
Alaiddin Ibrahim Mansur Syah. Tuanku Muhammad Daud lahir tahun 1867, ibunya
bernama Nyak Beuluke’h anak Panglima Muda Sipip, Kepala Pengawal Dalam.
Ketika dalam direbut Belanda pada
tanggal 24 Januari 1874, Tuanku Muhammad Daud yang ketika itu juga berdomisli
di dalam digendong oleh Teuku Beurahim Tibang untuk diselamatkan ke Lueng Bata.
Ketika Sultan Aladdin Mahmud Syah mangkat, Tuanku Muhammad Daud Syah dibawa ke
Lambaro dan dari sana ke Luthu (Kecamatan Suka Makmur). Di Luthu, Teuku
Beurahim menyerahkan Tuanku Muhammad Daud kepada Teuku Muda Bae’t (Uleebalang
Baet). Karena Sultan Alaiddin Mahmud Syah mangkat, para pembesar Kerajaan Aceh
berkumpul di Aneuk Galong mengadakan siding istimewa untuk pemilihan
penggantian Sultan. Hasil permufakatan yaitu Tuanku Muhammad Daud dipilih
sebagai Sultan dank arena usianya sangat muda ditetapkan pula Tuanku Hasyim
Bangka Muda menjadi pemangku Sultan. PAda tahin 1878, dilakukan peresmian
pengangkatan Sultan di Masjid Indrapuri. Pada usia 18 tahun, Sultan telah
tampil di medan perang untuk untuk memimpin pertempuran di daerah XXII Mukim
Aceh Besar, yaitu di kuta Aneuk Galong, Seuneulop, dan lain-lain bersama
panglima-panglima lainnya.126 Sejak pemerintahan dipindahkan ke Keumala pada
tahun 1879 dan saat itu Sultan telah dewasa, maka Tuanku Hasyim Bangta Muda
melepaskan tanggungjawabnya sebagai pemangku. Namun, sekali-sekali Tuanku
Hasyim mendampingi Sultan hingga Tuanku Hasyim meningggal dunia pada tahun 1897
di Padang Tiji dan dimakamkan disana.
Pada masa pemerintahan Sultan
Alaiddin Muhammad Daud Syah (Masa perang Belanda di Aceh), muncul tokoh-tokoh
pihak Aceh penantang belanda, antara lain Teuku Umar, Teungku Chik Di Tiro,
Muhammad Saman, Teungku Mat Amin, Teungku Beb, Teuku Nyak Makam, Cut Nyak Dien
dan lain-lain. Pada bulan November 1899, Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah
bersama Panglima Polem Muhammad Daud terpaksa mengundurkan diri, dari keumala
menuju ke peusangan. Dalam pertempuran dibukit Cot pi, Pihak Aceh gugur 34
orang, pihak belanda gugur 3 orang dan luka-luka 8 orang. Sultan dan Paglima
Polem mengundurkan diri lagi ke bukit-bukit di hulu Peusangan yang di
pertahankan oleh Teuku Di Blang Dalam. Pada tanggal 21 November 1899, pihak
Belanda dapat menguasai bukit-bukit tersebut, pihak Aceh terpaksa berpencar-pencar.
Sultan mundur ke bukit Keureutoe, Panglima Polem Muhammad Daud menuju ke
pegunungan di selatan lembah Pidie, Teuku Chik Peusangan ke Bukit Peutoe,
setelah di kejar-kejar pihak Belanda di daerah Samalanga, Peudada, dan
Peusangan, maka Panglima Polem menuju ke hulu Keureutoe dan Geudong. Sultan
mundur ke daerah Gayo pada bulan September 1910. Daerah Gayo dijadikan pusat
pertahanan pihak Aceh dan tempat persiapan untuk menyerang kembali Belanda.
Selain itu para keujueruen (Kerajaan) di daerah Danau Laut Tawar dan Deret
(Reje Buket, Syiah Utama, dan Reje Linge) membantu dan mendukung Sultan dan
laskarnya yang mengungsi ke sana.129Usaha pihak Belanda mengejar Sultan dan
Panglima Polem tidak berhasil. Selama 2 bulan, pasukan Belanda menjajah seluruh
daerah Danau Laut Tawar. Karena sikap permusuhan rakyat Gayo terhadap Belanda
tidak pernah mengetahui tempat persembunyian Sultan.
Akhirya, pasukan Marsose pimpinan H.
Cristoffel menangkap istri Sultan yang bernama Teungku Putroe di Glumpang
Payong pada tanggal 26 November 1902. Sebulan kemudian, pada hari natal, K. van
der Maaten menangkap seorang lagi istri sultan yang bernama Pocut Murong dan
Tuanku Raja Ibrahim putra Sultan di Lam Meulo. Keberhasilan pihak Belanda
menangkap istri dan putra Sultan menyebabkan Gubernur Militer dan Sipil Aceh
dan daerah Takluknya, van Heutsz, mengancam Sultan. Ancaman tersebut yaitu jika
Sultan tidak menyerah dalam masa satu bulan, kedua istrinya akan diasingkan.
Pada tanggal 10 Januari 1903, Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah terpaksa
menyerah. Atas permintaan pihak Belanda yang disampaikan melalui surat tanggal
8 Januari 1903, maka Sultan pada tanggal 14 Januari 1903 mengirim surat kepada
Gubernur Militer dan Sipil van Heutsz antara lain menyatakan: “…Saya datang di
Bandar Kuta Raja hendak menghadap dan menyerahkan badan diri ke bawah duli Sri
Paduka Tuan Besar.”
Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah
tak menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda, sehingga satu-satunya wilayah
Nusantara yang tak pernah takluk ke Belanda saat itu adalah Aceh. Wilayah
kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam mulai dari sumatra hinga semenanjung
Malaysia. Aceh, kala itu masuk dalam lima besar kerajaan islam terkuat di Dunia
bersama Kesultanan Ottoman Turki Husmani, Kesultanan Syafawiyah di Persia, dan
Kesultanan moghul di India.
Pada tanggal 20 Januari 1903, van
heutsz menerima Sultan menghadap istananya di hadapan para pembesar Belanda dan
uleebalang, Sultan mengikrarkan isi surat tersebut. Menarik untuk dicatat bahwa
menurut H. T. Damste, surat kepada van Heutsz yang isinya senada dengan korte
verklaring, didekte oleh asisten residen di Kuta Raja (Atjeh-Historie, KT,
1916, hlm. 612). Kemudian, Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah memperoleh rumah
yang lengkap disertai tunjangan sejumlah 1200 florin setiap bulan. Putranya disekolahkan oleh pemerintah
Hindia Belanda. Akan tetapi, usaha-usaha pembesar Belanda untuk mendekati
Sultan agar membantu kepentingan Belanda tampaknya sia-sia. Sejak menyerah Sultan
diperkenankan bergerak bebas di Aceh Besar, tetapi untuk keluar dari Aceh Besar
harus memperoleh izin Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun-tahun pertama setelah
menyerah, Sultan berulang kali diizinkan pergi ke Pidie dan Lhoksemawe dan
ditempat itu kadang kadang Sultan menetap sampai 3 bulan lamanya. Dari hasil
penyelidikan pihak Belanda, diketahui bahwa Sultan tetap melakukan hubungan
dengan pemimpin gerilya yang menjadi panglima bawahannya atau dengan para
pejuang yang menjadi kerabatnya karena hubungan perkawinan. Sultan membantu
mereka dengan uang dan bantuan lainnya untuk melanjutkan perlawanan menentang
Belanda.
Pada tanggal 6 Maret 1907 malam,
terjadi serangan atas Kuta Raja oleh para pejuang Aceh. Pada tanggal 7 juni
1907, pihak Seudu diserang oleh penduduk Leupung. Pada tanggal 16 Juni 1907, VI
Mukim Peukan Bada diserang oleh sepasukan pejuang Aceh yang bergabung dengan
penduduk kampong. Setelah berbulan-bulan melakukan penyelidikan. Belanda
berkesimpulan bahwa serangan yang terjadi selama ini dipimpin oleh Keuchik
Seuman dan Pang Usuih yang memperoleh bantuan berupa uang, perbekalan, tempat
persembunyian dan penunjukan jalan dari Pejuang Aceh, yaitu Keuchik Syekh,
Panglima Nyak Asan dan Nyak Abaih. Kesemua hal itu direncakan oleh Sultan dan
para Pejuang Aceh. Pihak Belanda menuduh bahwa penembakan di Kuta Raja serta
penyerangan terhadap Seudu dan Peukan Bada diatur oleh Sultan. Karena khawatir
akan mengguncang masyarakat Aceh jika Sultan di ajukan ke meja hijau, maka
Gubernur Militer dan Sipil Aceh dan daerah takluknya, van Daalen, mengusulkan
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar Sultan diasingkan.
Berdasarkan perintah van Daalen,
pada hari Rabu tanggal 21 Agustus 1907 sekitar pukul 09.00 lewat, dua brigade
Marsose (pasukan yang dibentuk pihak Belanda pada tanggal 2 April 1890 khusus
untuk menghadapi perlawanan pihak Aceh) pimpinan Letnan Kolonel Doorman
mengepung kantor Asisten Residen Aceh Besar (L.J.F. Rijckmans). Ketika itu,
Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah sedang bertemu dengan L.J.F. Rijckmans di
ruang kerjanya. Sambil mengepung kantor, Doorman memerintahkan pembantunya
Letnan J.E. Scheffers bersama beberapa anggota Marsose menyerbu keruang kerja
Rijckmans. Scheffers bersama empat anggota Marsose yang dengan pedang terhunus
memasuki ruang kerja Rijckmans. Keempat Marsose langsung berdiri dibelakang
Sultan dan Scheffers menyerahkan surat penangkapan kepada Asisten Residen untuk
dibaca kepada Sultan.
Sultan langsung memprotes mendengar
isi surat itu. “Saya tidak bersalah apa-apa”, katanya, seakan-akan tidak mau
menerima keputusan yang telah didengarnya. Asisten Residen menegaskan bahwa
Sultan dalam posisi tahanan dan agar menyerahkan senjata yang ada padanya.
Ketika Sultan masih memperlihatkan sikap protes, keempat Marsose segera memperlihatkan
sikap mengancam kepada Sultan. Akhirnya Sultan meletakkan rencongnya di atas
meja Asisten Residen.
Doorman meminta Sultan berjalan
berdekatan dengannya, dikawal empat anggota Marsose mereka keluar dari kantor
Asisten Residen. Di luar, para anggota Marsose lainnya segera mengawal ketat
Sultan dan langsung membawanya ke stasiun kereta api. Sultan masih menunjukkan
sikap protes dalam perjalanan ke stasiun. Berulang kali Sultan mengatakan bahwa
ia tidak bersalah, kemana akan dibawa, dan dimana istrinya. Doorman berusaha
menenangkan Sultan agar tidak perlu bersusah hati, segala sesuatu sudah diurus.
Pada saat tidak di stasiun, sekali lagi Sultan melakukan Protes dan tidak
bersedia untuk masuk ke dalam kereta api yang sudah disiapkan. Hal itu menyebabkan
Doorman marah, sehingga dengan pedang terhunus ia memerintahkan Sultan masuk ke
dalam kereta api.
Begitu mereka masuk, langsung kereta
bergerak menuju ke Ulee Lheue tenpa berhenti di stasiun Ulee Lheue. Kereta
terus dijalankan hingga ke ujung rel mencapai dermaga kapal di pelabuhan Ulee
Lheue. Setelah kereta api tiba di pelabuhan, Sultan dipaksa untuk memasuki
berkas untuk dibawa ke kapal gubernemen yang bernama Java. Ketika berada di
kapal, Sultan menolak masuk ke kamar dan ditunjuk kepadanya sebelum keluarganya
naik ke kapal. Doorman menjelaskan bahwa keluarga Sultan dan rombongan akan
ikut serta menemani Sultan. Dijelaskan pula bahwa Sultan akan diberangkatkan
pada hari itu pula ke Batavia. Baru pada siang hari, istri Sultan dan rombongannya
serta segala bagasi berisi pakaian yang di angkut dari kediaman Sultan, tiba di
Ulee Lheue dan dinaikkan ke kapal. Setelah selesai, Doorman memberi isyarat
tanda semua berjalan lancer dan kapal mengangkat jangkar menuju Batavia.
Di Batavia, pada tanggal 30 Agustus
1907, Sultan diperiksa oleh Residen Batavia (J. Hofland) di hadapan Asisten
Residen Aceh Besar (L.J.F. Rijckmans) yang ikut serta membawa Sultan ke Batavia
bersama skretaris H. van Santwijk. Berdasarkan ketetapan tanggal 24 Desember 1907,
pemerintah Hindia Belanda mengasingkan Sultan ke Ambon. Selain Sultan,
diasingkan pula Tuanku Husin bersama empat orang putranya, Teuku Johan Lampaseh
pejabat Panglima Sagoe XXVI Mukim, Keuchik Syekh, dan Nyak Abaih. Diantara
surat-surat yang disita pihak Belanda ketika menggeledah kediaman Sultan di
Kuta Raja, terdapat surat-surat yang dapat menimbulkan kesan bahwa Sultan
melakukan hubungan dengan Jepang untuk meminta bantuan dalam rangka melanjutkan
perlawanan terhadap Belanda. Pada tahun 1917, Pemerintah Hindia Belanda
memperkenankan Sultan memilih salah satu tempat kediamannya di Hidia Belanda,
kecuali di pulau Sumatra. Sultan memilih bertempat tinggal di Batavia di daerah
Meester Cornelis, Pada hari senin tanggal 6 Februari 1939, Sultan mangkat dan dimakamkan
di Rawa Mangun. Di pusarannya tertulis, “Toeankoe Sultan Muhammad Daoed Ibnal
Marhoem Toeankoe Zainal Abidin Alaiddin Syah, Wafat hari senen 6 Februari
1939.” Sampai sekarang makam Sultan masih berada disana.
Akhirnya Kerajaan Aceh Darussalam
sirna akibat diperangi Pemerintah Hindia Belanda, yang dimulai pada tahun 1873
pada masa Pemerintah Sultan Alainddiin Mahmud Syah. Perang antara pihak Belanda
dengan pihak Aceh dikenal dengan perang Aceh meahirkan pengakuan pihak Belanda,
yaitu : “Geen benden van Diepo Negoro of Sento, geen dweepzieke Padri’s, geen
scharen Balineezen of ruitermassa’s der Bonieren ontwikkelden ooit zooveel
dapperheid en doodsverachting in het gevecht, zoovel stoutheid bij den aanval,
zooveel vertrouwen op eigen kracht, zooveel taaiheid in tegenspoed, als die
door den vrijheidlevenden, fanatieken, voor den guerill-krijg als geschapen
Atjeher warden betoond. Daarom zal de Atjeh-oorlog steeds een leerschool
blijven voor ons leger,…” Artinya: “tidak ada pasukan Diponegoro atau Sentot
(Alibasyah Prawirodirjo), tidak ada pasukan Pardi yang sedemikian fanatiknya,
tidak ada pasukan Bali atau pasukan berkuda orang Bone yang telah
memperlihatkan keberaniannya serta tidak gentar menghadapi maut di dalam
pertempuran-pertempuran, disertai dengan kenakalan-kenakalan dalam penyerangan,
demikian penuh kepercayaan pada kekuatan sendiri, begitu gigih didalam
menghadang lawan, seperti yang diperlihatkan oleh orang Aceh yang cinta
kemerdekaan, fanatik, dan laksana dilahirkan untuk bergerilya. Karenanya perang
Aceh akan selalu merupakan sekolah tempat belajar untuk tentara kita
(Belanda),…”
0 Comments