Perkembangan Ilmu Pada Masa Kejayaan Islam

Pada masa kejayaan kekuasaan Islam, khususnya pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasyiah, Ilmu berkembang sangat maju dan pesat. Kemajuan ini membawa Islam pada masa keemasannya, dimana pada saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh di luar kekuasaan Islam masih berada pada masa kegelapan peradaban (Dark Age).

Dalam sejarah islam, kita mengenal nama-nama seperti Al-Mansur, Al-Ma’mun, dan Harun Al-Rasyid, yang memberikan perhatian teramat besar bagi perkembangan ilmu di dunia Islam. Pada masa pemerintahan Al-Mansur, misalnya proses penerjemahan karya-karya filosof Yunani ke dalam bahasa Arab berjalan dengan pesat. Dikabarkan bahwa Al-Mansur telah memerintahkan penerjemahan naskah-naskah Yunani mengenai filsafat dan ilmu, dengan memberikan imbalan yang besar kepada ahli bahasa (penerjemah). Pada masa Harun Al-Rasyid (786-809) proses penerjemahan itu juga masih terus berlangsung. Harun memerintahkan Yuhanna (Yahya) Ibn Masawayh, seorang dokter Istana, untuk menerjemahkan buku-buku kuno mengenai kedokteran. Di masa itu juga diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi, seperti Siddhanta; sebuah risalah India yang diterjemahkan olehMuhammad Ibn Ibrahim al-Fazari. Pada masa selanjutnya oleh al-Khawarizmi Siddhanta ini dibuat versi baru terjemahannya dan diberikan komentar-komentar. Selain itu juga ada Quadripartituskarya Purdemy, dan karya-karya bidang astrologi yang diterjemahkan oleh satu tim sarjana.

Perkembangan ilmu selanjutnya berada pada masa pemerintahan Al-Ma’mun (813-833). Ia adalah seorang pengikut Mu’tazilah dan seorang rasionalis yang berusaha memaksakan pandangannya kepada rakyat melalui mekanisme nagara. Walaupun begitu, ia telah berjasa besar dalam mengembangkan Ilmu di dunia Islam dengan membangun Bait al-Hikmah, yang terdiri dari sebuah perpustakaan, sebuah observatiorium, dan sebuah departemen penerjemahan. Orang terpenting di Bait al-Hikmah adalah Hunain, seorang murid Masawayh, yang telah berjasa menerjemahkan buku-buku Plato, Aristoteles, Galenus, Appolonuis, dan Archimedes. Selanjutnya pada pertengahan abad ke-10 muncul dua penerjemahan terkemuka yaitu Yahya Ibn A’di, dan Abu Ali Isa Ibn Ishaq Ibn Zera. Yahya banyak memperbaiki terjemahan dan menulis komentar mengenai karya-karya Aristoteles seperti Categories, Sophist, Poetics, Metaphysics, dan karya Plato seperti Timaesus dan Laws. Yahya juga dikenal sebagai ahli logika dan menerjemahkan The Prolegomena of Ammonius dan sebuah kata pengantar untuk Isagoge-nya Pophyrius.

Selanjutnya, pada masa kejayaan ini, terdapat juga tokoh-tokoh filsafat yang bergelut secara serius dalam kajian-kajian di luar filsafat. Hal ini bisa dipahami karena adanya kenyataan bahwa mereka menganggap ilmu-ilmu rasional sebagai bagian filsafat. Atas dasar inilah mereka memperlakukan persoalan-persoalan fisika sebagaimana mereka memperlakukan masalah-masalah yang bersifat metafisik. Salah satu bukti nyata dari ini adalah kitab al-Syifa, sebuah ensiklopedia filsafat Arab yang terbesar, yang berisi empat bagian. Bagian I mengenai logika, bagian II tentang fisika, bagian III tentang matematika, dan bagian IV membahas metafisika. Dalam bagian fisika, Ibn Sina memasukka ilmu-ilmu psikologi, zoology, geologi, dan botani, dan pada bagian matematika ia membahas geometri, ilmu hitung, astronomi, dan music.

Selain tokoh diatas, kita juga mengenal Al-Kindi, seorang ilmuan yang lebih sering disebut saintis ketimbang filosof, yang berminat besar dalam bidang matematika dan fisika. Ia bahkan berpendapat bahwa seseorang mungkin dapat menjadi filosof sebelum mempelajari filsafat. Tokoh lainnya adalah Al-Farabi yang mengadakan penelitian dalam bidang geometri dan mekanika, dan ia juga adalah seorang musikus Muslim yang terbesar. Salah satu karyanya dalam bidang musik adalah kitab al-Musiqi al-Kabir. Kemudian kita mengenal Ibn Bajah, Ibn Tufail, dan Ibn Rushd, yang hidup di Andalusia dan bergelut secara intensif dalam bidang kedokteran. Ibn Rushd, misalnya, mengarang al-Kulliyat yang diterjemahkan kedalam bahasa Latin pada pertengahan abad ke-13 M. Selanjutnya ada Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi, dokter terbesar dalam Islam, bahkan diseluruh masa Abad Pertengahan. Ia terkenal karena orisinalitasnya dan pandangannya yang jernih dan kemampuannya menemukan jenis-jenis penyakit yang belum dikenal sebelumnya. Kitabnya yang berjudul al-Hawi adalah kitab yang paling terkemuka di antara karya-karya kedokteran Arab yang diambil manfaatnya oleh orang-orang Latin.

Selain adanya perkembangan ilmu yang dapat dikategorikan ke dalam bidang eksakta, matematika, fisika, kimia, geometri, dan lain sebagainya, seperti yang telah disinggung secara sepintas di atas, sejarah juga mencatat kemajuan ilmu-ilmu keislaman, baik dalam bidang tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih, dan disiplin ilmu keislaman yang lain. Perkembangan ilmu tafsir dan ‘ulum Alquran belum menemukan bentuknya yang konkret sampai abad ke-3 H, khusus dalam bidang ‘ulum Alquran pembahasannya memperlihatkan dua bentuk. Pertama, pembahasan yang bersifat Juz’i, dan kedua bersifat Syamil. Bentuk yang pertama hanya membahas aspek atau segi yang lain, sedangkan bentuk kedua membahas seluruh aspek dengan penulisan selengkap mungkin.

Dalam bidang hadis, perkembangan ilmu hadis dimulai sejak Imam Syafi’i menyusun kitabnya yang bernama ar-Risalah. Kitab ini memuat problematika sanad dan matan hadis, walaupun tidak demikian terperinci seperti yang dikemukakan oleh para ulama sesudahnya. Pada perkembangan selanjutnya ilmu hadis semakin diperluas pembahsannya dengan mengambil dua bentuk. Pertama, ilmu riwayah, yaitu satu ilmu untuk mengetahui sabda, perbuatan, pengakuan, dan sifat Nabi Saw. Dari segi ketepatan, pengutipan, pembukuan, dan pemeliharaan periwayatan. Kedua, ilmu dirayah, yaitu ilmu yang membahas sanad dan matan dari segi diterima atau ditolaknya suatu hadis, sehingga melahirkan kaidah yang berkaitan dengannya. Kitab yang berkaitan secara khusus dengan ilmu hadis muncul pada akhir abad ke-3, diantaranya kitab al-Muhaddis al-Fasil bain ar-Rawi wa al-Wa’y karya Ar-Ramahurmuzi. Kemudian pada abad ke-4 menyusul Al-Hakim an-Naisaburi dengan karyanya Ma’rifah al-Ulum al-Hadis. Menyusul kemudian Al-Baghdadi dengan kitabnya al-Kifayah fi’Ilm ar-Riwayah, pada abad ke-5. Ilmu hadis terus berkembang hingga mencapai puncaknya pada abad ke-7 dengan munculnya kiab Muqaddimah ibn Salah fi ‘Ulum al-Hadis, karya ibn Shalah.

Selain dalam bidang Al-Quran dan hadis, ilmu fiqih dan ushul fiqih telah mengalami perjalanan panjang hingga terbentuk seperti sekarang ini. Fiqih menjadi sebuah disiplin ilmu dengan mengalami beberapa tahapan. Pertama, tahap pembentukan pada masa Rasulullah, Khulafa al-Rasyidin, hingga peruh pertama abad ke-1 H. Kedua, tahap pententukan fiqih yang dimulai pada paruh pertama abad ke-1 H hingga dekade awal abad ke-2 H hingga pertengahan abad ke-4 H. Pada masa ini ijtihad fiqih dikodifikasi dan dilengkapi dengan ilmu ushul fiqih. Keempat, adalah tahap kemunduran fiqih yang ditandai oleh jatuhnya Baghdad ke bangsa Tarta dan tertutupnya pintu ijtihad oleh para ulama.

Terjadinya transformasi kebudayaan dan khususnya ilmu dari dunia Islam ke dunia Barat disebabkan oleh dua alasan. Pertama, kontak pribadi. Setelah penaklukan Arab atas Persia, Syiria, dan Mesir, orang-orang kristen di Timur melakukan kontak dengan orang-orang Islam. Mereka hidup bersama dan menikmati toleransi Agama yang besar. Mereka juga mengikuti kegiatan intelektual dan kebudayaan kaum mempunyai dokter-dokter, kimiawan, matematikus, dan para ahli astronomi yang memberikan sumbangan khusus dalam penerjemahan warisan Yunani ke dalam bahasa Arab.

Terjadinya kontak pribadi ini juga disebabkan karena Byzantium secara geografis berdekatan dengan Dunia Islam. Dari sinilah kemudian gagasan-gagasan Barat masuk ke Dunia Islam dan, sebaliknya gagasan-gagasan dari Dunia Islam ke Dunia Barat.




Post a Comment

0 Comments