Negara merupakan suatu organisasi
terbesar yang terbentuk dari kumpulan keluarga, kemudian keluarga, kemudian
keluarga tersebut membentuk suatu kumpulan masyarakat, yang didalamnya terdapat
berbagai ras dan suku bangsa, sehingga dari perkumpulan inilah terbentuk suatu
Negara yang utuh.
Untuk memahami secara detail mengenai Negara,
terlebih dahulu akan diawali dengan penelusuran kata Negara tersebut. Jika
dilihat dari asal katanya Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing,
yakni state, staat, dan etat, kata-kata tersebut diambil dari bahasa latin
status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang
memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Secara istilah Negara merupakan
organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita
untuk bersatu, hidup dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintah yang
berdaulat.
Menurut
Roger H. Soltau, Negara adalah alat atau wewenang yang mengtatur atau
mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama rakyat (Ubaidillah,
2015:46).
Dalam konsepsi islam, dengan mengacu pada
Al-Quran dan Al-Sunnah, tidak ditemukan rumusan tentang Negara secara tegas,
hanya saja didalam Al-Quran terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Konsep islam tentang Negara juga berasal dari dua
paradigm, yaitu :
a.
Paradigma tentang teori khilafah, yang
dipahami sebagai suatu misi kaum muslimin yang harus ditegakkan dimuka bumi ini
untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan dari Allah SWT.
b.
Paradigma yang bersumber dari teori
ilmiah, yaitu kepemimpinan yang harus diikuti oleh umat islam, hal itu jelas
ada dalam Al-Quran (Abu Daud, 2011:46).
Dalam konsep Negara Hukum itu,
diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan
kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang
biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum
adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada
pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya
bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.
Gagasan Negara Hukum itu
dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem
yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan
infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan social yang tertib dan teratur,
serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan
impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu,
sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law
enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum
yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai
hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land),
dibentuk pula sebuah Mahkamah (Asshiddiqie, 2011:1).
Secara terminologis, istilah “negara
hukum” pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 tidak merujuk
secara khusus pada salah satu konsep utama dalam tradisi hukum Barat, baik
Rechtsstaat maupun Rule of Law. Artinya, istilah “negara hukum” dalam UUD 1945
merupakan konsep yang relatif ‘netral’ yang membuka ruang tafsir bagi pemahaman
baru sesuai dengan paradigma dan realitas negara Republik Indonesia.
Namun, secara historis istilah “negara hukum” dalam UUD 1945 tersebut
bersumber dari rumusan dalam Penjelasan UUD 1945. Sekalipun agak berbeda dengan
istilah “negara berdasar atas hukum” dalam Penjelasan UUD 1945, tetapi istilah
“negara hukum” dalam Penjelasan UUD 1945 jelas mengacu pada konsep Rechtsstaat
yang berkembang dalam tradisi hukum Eropa Kontinental. Oleh karena itu, secara historis istilah
“negara hukum” dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 juga
merujuk pada konsep Rechtsstaat, dan bukan merujuk pada konsep Rule of Law.
Rujukan pada konsep Rechtsstaat tersebut sudah tentu memiliki konsekuensi yang
berbeda dibandingkan bila merujuk pada konsep Rule of Law. Bagaimanapun kedua
konsep tersebut bukan merupakan konsep yang arbitrer, melainkan terkait dengan
tradisi hukum tertentu yang memiliki latar historis dan sosial-budaya
masyarakat tertentu yang berbeda dengan Indonesia (Fitriciada, 2012:489).
Profesor
Utrecht membedakan ntara Negara Hukum Formil atau Negara Hukum Klasik, dan
Negara Hukum Materiel atau Negara Hukum Modern3. Negara Hukum Formil menyangkut
pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan
perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel
yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu,
Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan
antara ‘rule of law’ dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized
public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti materiel yaitu ‘the
rule of just law’. Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam
konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara
substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat
dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh
aliran pikiran hukum materiel (Utrecht, 1962:9).
Perbedaan
Negara dan Negara Hukum
Negara
yang bukan Negara hukum tentunya tidak memiliki administratieve rechtspraak atau peradilan tata usaha Negara sebagai
ciri pokok Negara Hukum. Dan juga tidak memiliki atau belum sempurnanya
peraturan-peraturan terhadap hukum yang mengatur HAM, lalu peraturan yang belu
sama rata antara satu orang dengan orang yang lainnya, kemudian tidak ada
kepastian hukum, demokrasi yang tidak ada, serta pejabat yang hanya memikirkan
diri sendiri (Asshiddiqie, 2011:6).
0 Comments