Masyarakat Konsumsi
Pemikiran Jean Baudrillard sangat dipengaruhi oleh
pemikiran Marx yang pada awalnya ia menjauhkan dirinya dari reduksionisme
ekomoni dan ketidakmampuan teori marxis mengkonseptualisasikan bahasa, tanda,
dan komunikasi, meskipun pada akhirnya Baudrillard mengkritik pemikiran dari
Marx itu sendiri. Tetapi, meskipun Marx dan sebagian besar Marxis tradisional
memfokuskan pada produksi. Baudrillard memfokuskan dirinya pada konsumsi
(Madan, 2011: 253).
The System of Objects (1968) Baudrillard mengkaji, dari
persepektif noe-Marxis, kemungkinan konsumsi menjadi landasan utama tatanan
sosial. Ia mengatakan objek konsumsi membentuk sistem klasifikasi dan bahwa
objek tersebut ikut berpengaruh dalam pembentukan perilaku.
Dalam logika tanda, seperti dalam logika simbol-simbol,
objek-objek tidak lagi dihubungkan dengan fungsi atau kebutuhan yang nyata.
Etalase, papan iklan, perusahaan dan merek yang memainkan peranan penting,
memaksa masyarakat menerima pandangan yang koheren, kolektif sebagai sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan sebagai sebuah mata rantai yang kemudian tidak
sekedar menjadi sebuah rangkaian objek yang sederhana, tetapi sebuah rangkaian
gejala-gejala dalam batas-batas dimana mereka saling memberi arti satu dengan
yang lain sebagai sumber objek yang lebih kompleks dan yang melatih konsumen
dengan serangkaian motivasi yang lebih kompreks (Baudrillard, 2010: 6).
Objek konsumsi saat ini tidak
dipahami lebih dari sekedar pemenuhan kebutuhan atau persoalan tertentu yang di
dalamnya memiliki nilai guna, melainkan sebagai jaringan penanda mengambang
yang memiliki kemampuan tidak terbatas yang dapat membangkitkan hasrat libidia
dan karnal. Ketika seseorang mengkonsumsi objek, maka akan mengkonsumsi tanda,
dan sedang dalam prosesnya orang tersebut akan mendefinisikan dirinya sendiri
terhadap barang yang sedang dikonsumsi.
Melalui media masa Jean
Baudrillard mengakatan bahwa media masa saat ini menyimbolkan zaman baru dimana
bentuk produksi dan konsumsi telah memberi jalan bagi semesta komunikasi yang
baru. Apa yang dilihat Baudrillard saat ini dimedia masa adalah lenyapnya
transendensi, kedalaman, dan kebenaran dalam wacana komunikasi, yang
menghasilkan sebuah bentuk permukaan imanen bahasa dan komunikasi di dalam
berbagai medianya, khususnya televisi (Amir Piling, 2006: 84). Manusia saat ini
sudah menjelma kedalam layar televisi dan begitu pula televisi sudah masuk ke
dalam kehidupan masyarakat, masyarakat dan televisi sudah lenyap di dalamnya.
Simulacra
Baudrillard
membagikan tiga tahapan perubahan penampakan (appearance) wajah dunia;
1.
Modernitas
awal (Counterfeil)
Adalah dimulai dari periode Renaisance
sampai revolusi industry, yang ditandai oleh produksi bebas tanda, fastion,
model, mengantikan sistem pertandaan kasta atau klan yang bersifat represif dan
hegemonik. Terjadi semacam demikratisasi dalam bagaimana manusia memilih dan
menentukan menampakan dari berbagai aspek kehidupannya dan gaya hidupnya.
Seseorang bisa saja bergaya hidup seperti seorang raja, yang sebelumnya
mustahil diperoleh.
2.
Modernitas
atau Produksi
Pola dominan era industri, yang ditandai dengan otomatisasi
produksi dan universalisme nilai-nilai. Pola penampakan dengan pola produksi
ini ditandai dengan upaya-upaya memaksakan kebudayaan dan segala aspek
penampakannya, disebabkan adanya dorongan-dorongan ekspansi ekonomi yang
dominan (kapitalisme).
3.
Postmodernisme
atau Simulasi
Pola yang mendominasi fase sekarang yang dikontrol oleh kode-kode, yaitu
fase yang didominasi oleh produksi dari realitas buatan (hiperealitas). Era simulasi ditandai dengan berkembangnya
demokratisasai yang ekstrim dalam dunia penampakan, di mana manusia tidak saja
diberikan kebebesan dalam memilih gaya atau hidup, akan tetapi justri diberi
peluang besar untuk menciptakan penampakan simulasi dari penampakan dirinya
sendiri atau penamakan kebudayaan materi di sekelilingnya.
Baudrilard mendasarkan pemikirannya dalam
sketsa historis transisi dari modernitas ke postmodernitas. Cara lain
Baudrillard melukiskan kehidupan post-modern adalah bahwa kehidupan post-modern
ditandai oleh simulasi, di mana proses simulasi mengarah pada penciptaan
simulacra atau ”reproduksi objek dan atau peristiwa”. Kaburnya perbedaan antara
tanda dan realitas, maka semakin sulit membedakan yang tulen atau asli dengan
barang tiruan (Ritzer, 2010: 641).
Simulasi dalam buku Teori
Sosiologi Modern dijelaskan bahwa kemungkinan alasan terpenting untuk
menciptakan simulasi atau pengubahan fenomena “rill” menjadi simulasi, adalah
dengan cara menjadikan segala sesuatunya dibuat lebih spektakuler ketimbang
aslinya dan karena itu dapat lebih menarik konsumen. Las vegas merupakan contoh
Negara atau tempat dimana telah mencapai titik puncak simulasi karena di
sanalah telah begitu banyak menciptakan settingan artificial dalam satu lokasi,
dimana kita dapat menemukan Monte Carlo, New York City, Venice, dan Paris hanya
dalam hitungan menit. Kenyataan saat ini Huxtable, dengan mengikuti Umberto Eco
dan Baudrillard, mengatakan ”yang tidak rill (unreal) menjadi realitas dan yang
rill meniru imitasi” (Ritzer, 2010: 645).
Referensi :
Baudrillard, Jean. 2010. Masyarakat
Konsumsi, Trjem. Wahyunto. Yogyakarta:Kreasi Wacana.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi)
(2010). Teori Sosiologi: Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmoder,
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sarup, Madan. 2011. Postrukturalisme
dan Postmodernisme. Terj. Medhy Aginta Hidayat.. Yogyakarta: Jalasutra.
0 Comments